Galaksi belum juga bisa mengingat jalan yang telah
dilewatinya tadi. Dia kelimpungan, menoleh ke sana dan ke mari, hanya tampak
barisan pepohonan yang tidak rapi, dan beberapa kali hewan-hewan yang melompat,
ada juga yang setia mengawasinya.
Dia lelah, ditaruhnya tas ransel berukuran sepaha orang
dewasa. Tidak terlalu besar untuk orang yang berniat berlama-lama di alam
bebas. Dia tersesat.
Tak lama setelah Galaksi merebahkan semua bagian tubuhnya ke
tanah, suara pijakan kaki terdengar dan semakin lama semakin mendekat pula.
Seketika itu juga dia terbangun dari rebahnya. Nampak seorang tua melemparkan
senyum kepadanya. “mau ke mana nak”, tanya orang tua itu dengan kesopanan khas orang
jawa. “pulang”, jawaban yang keluar begitu saja dari mulut Galaksi. Mata
Galaksi mengawasi orang tua itu dengan seksama, dan berhenti pada tangannya yang
memegang sebuah golok besar. Tidak mudah memang bagi orang kota untuk percaya
pada orang asing yang baru ditemuinya.
“hari sudah semakin sore, kalong sudah keluar dari
persembunyian, tidak lama lagi akan gelap, jika anak capek dan mau singgah, aku
sangat mempersilahkan”
“tidak, terimakasih, aku harus pulang”
“pulang ke mana? Tidak ada rumah bagi orang yang tersesat”
Galaksi habis kata, dia terdiam sejenak, mungkin akan lama
jika orang tua itu tidak cepat-cepat melangkah menuju sebuah tanah yang cukup
lapang. Dan tepat di tengah tanah lapang itu berdiri sebuah bangunan kayu yang
begitu indah dan kokoh. “Ini rumah kakek?”, orang tua tersebut tidak lantas
menjawabnya dengan kata, namun digantikan gestur tangan yang mempersilahkan
Galaksi masuk.
Dibuatkanlah kopi dan singkong rebus. Sambil melihat
sekeliling rumah, Galaksi berpikir untuk memulai sebuah obrolan guna mencairkan
suasana.
“ini rumah kakek?”
“ya, aku sendiri yang membangunnya”
“di mana keluarga kakek?”
“kota”
Obrolan mati. Hanya terdengar suara daun dan batang pohon
yang saling bergesekan karena lalu lalang hewan malam.
“tujuan anak ke mana?”
“sebenarnya tidak ada tujuan pasti, hanya ingin sendiri,
namun sial, aku lupa jalan pulang”
Kakek itu meminum kopinya dan menyalakan rokok.
Dengan batuk yang dibuat-buat, Galaksi memberanikan diri
untuk bertanya lebih jauh tentang kakek, “kek, kenapa kakek ingin berdiam
sendiri di sini?, ke mana keluarga kakek?”. Kakek itu menoleh lemas kepada
Galaksi.
“Di dunia yang orang-orangnya haus akan hiruk pikuk,
kesunyian adalah sebuah kemewahan”, kalimat kakek yang mengambang di udara dan
tatapan mata yang menjurus entah ke mana. Seketika itu pula kenangan masa lalu
menerobes tanpa permisi.
Pada saat itu, kakek yang masih muda dan penuh semangat
pembaharuan dan salah menempatkan diri. Dia orang benar di waktu yang salah.
Pagi-pagi buta pintu rumah digedor dengan laras senjata. Semua isi rumah
diobrak-abrik, malang benar nasibnya, ditemukan pedang pula di rumahnya. Kakek
berhasil kabur melompati pagar halaman belakang dan membelah perkebunan tebu. Namun
tidak bagi istri kakek. Mereka dituduh komunis. Ya, di negeri ini menjadi seorang
komunis dipandang sangat hina, lebih hina dari seekor babi yang hidupnya
berkubang tahi.
Ya, di negeri ini, orang bisa begitu saja dihukum tanpa
pengadilan. Kakek terus saja berlari membela perkebunan tebu, sesekali menoleh
kebelakang, dan akhirnya berhenti di pinggiran kali.
Degup jantung mulai meredah, pikiran mulai mengambil alih.
Kakek menyesal sebegitu hebat atas penangkapan istrinya. Pertanyaan-pertanyaan
yang memburu terus berdatangan. “Kenapa, kenapa aku meninggalkan istriku begitu
saja”.
Angin menembus halus dari sela-sela kayu, hewan-hewan malam
sibuk dalam dunianya, dan detik jam terus berputar dan umur manusia yang
setetes demi setes ikut cair mengekornya. Dua manusia yang khusyuk memandangi
perapian dan kopi yang mulai dingin. Malam begitu lambat.
“lalu di mana sekarang istri kakek”
“rumah ini nak, rumah inilah yang telah aku siapkan untuk
kepulangan istriku, tak peduli dia masih bernapas atau hanya sebentuk onggokan
daging ”
“aku tidak tahu betul bagaimana keadaan dia sekarang, aku
sudah coba cari tahu tentang dia, namun orang-orang desa menjauh saat aku
dekati, hanya saja waktu itu ada anak kecil yang berteriak mengatakan kalau
istriku sudah meninggal. Itu pun keluar dari mulut seorang bocah”
Kakek meminum kopi
dingin dan kembali membakar rokok, “rumah inilah tempat aku mengundang istriku,
dengan kopi tanpa gula dan asap tembakau, ya, meskipun hanya kenangannyalah
yang datang”
Galaksi hanya diam sedari tadi, dia sadar akan kelemahan
dirinya di depan seorang tua yang sarat pengalaman. Mungkin hanya tenaga
satu-satunya poin yang bisa mengalahkan kakek tua itu. Dia memilih senjata yang
paling tepat, menjadi pendengar yang baik.
“ada satu lagi nak yang membuat kakek cemas akhir-akhir ini.
Rumah ini akan digusur oleh pemerintah, alasan mereka karena ini adalah hutan
lindung. Aku tidak tahu tentang berkas, surat, riwayat yang mereka minta. Aku
hanya tahu hutan inilah salah satu saksi nyata sejarah Indonesia. Di sinilah
para tentara gerilya bersembunyi dan mengatur strategi, hutan inilah yang menampung
para pembangkang yang tidak mau tunduk pada penjajah”
“ya, aneh memang, di dunia seperti sekarang ini manusia
dinilai dari berkas-berkas, hanya dari selembar-selembar kertas” galaksi
menimpali.
“lalu, apakah kakek akan bertahan di sini? Atau meninggalkan
kerja keras yang selama ini kakek kerjakan? Apakah mereka tidak bisa dilawan?”
galaksi meneruskan.
“aku terlalu sibuk untuk melawan diriku sendiri, sibuk untuk
membenci diriku sendiri”
Kakek terdiam, tampak asap keluar dari mulutnya dan akhirnya
hilang bersama angin malam.
Galaksi pun begitu.
Mereka berdua diam.
“lalu bagaimana dengan kamu, nak? Ke manakah anak akan
pulang” Kakek bertanya dengan suara seraknya.
“aku ingin pulang, kek”
“Pulang ke rumah tidak semudah seperti yang kita ramalkan. Seperti
tercebur dalam sungai yang sama. Dan kamu tidak tahu siapa yang menantimu di
balik pintu itu. Karena pulang berarti menjumpai yang selama ini kamu
tinggalkan”
“aku tidak hanya ingin pulang, aku ingin ke rumah”
“rumah itu bukan sekedar bangunan, rumah adalah saat kamu
bangun dari tidur dan ada sejuta senyum yang menyapamu. Apakah kamu sudah
mendapatkan rumah? ”
“aku tidak tahu, tapi aku pernah mendapatkan rumah, di
sebuah kota yang jauh dari sini, dan ke sanalah aku aku pulang”
“apa kamu siap?”
“aku tidak tahu pasti, aku tidak tahu seperti apa di sana
sekarang, orang-orangnya, udaranya, suasananya”
“nak, pulang ke rumah tidak harus sama seperti dulu. Pulang
adalah apa yang kamu rasa, adalah tentang orang-orang yang peduli dengan kamu,
yang menerima semua kebaikanmu dan keburukanmu”
Kakek meminum kopinya sampai habis dan mematikan bara
rokoknya. Sebuah isyarat untuk segera meletakkan punggung di kasur.
~~~
Pagi begitu dingin.
Galaksi telah siap untuk meninggalkan sebuah rumah kayu
istimewa yang diperuntukkan untuk seorang istimewa pula. Sebelum berpamitan dan
meninggalkan itu semua. Sekali lagi dia bertanya kepada kakek.
“Kek, apa kakek akan mempertahankan rumah ini”
“Meluapkan segala kebencian, begitulah mati dengan
kebebasan”, kakek menjawab dengan bibir gemetar.
“terimaksih untuk rumah, dan kopi, dan singkong rebusnya
kek, maaf aku tak bisa memberi apa-apa”
“waktu nak, kamu telah memberi aku waktu, yang tak semua
orang dapat memberinya dengan cuma-cuma”.
Pagi menjadi siang dan berganti malam. Rumah itu tetap
hangat menanti seorang manusia renta yang entah ke mana…