Jumat, 22 Januari 2016

Rumah itu Bernama Nandur Dulur

Pasti dari setiap kita pernah mengalami hal-hal tersulit. 

Ya, hal tersebut tidak bisa dinilai secara sembrono, karena tidak ada peran pengganti untuk merasakan luka dalam diri kita. Setahun yang lalu, aku merasakan hal tersebut, melambung tinggi lalu jatuh dengan sekali jadi. Bukan bagaimana aku terjatuh yang ingin aku ceritakan di sini, namun apa yang aku lakukan setelah itu.

Aku tak ingat pasti tanggal berapa, namun minggu senja dan taman kota adalah kombinasi yang aduhay untuk berkumpul bertukar cerita bersama teman. Aku, Lintang, dan Nadia, bertiga melingkar sambil memegang kuas. Ah bodoh memang aku dalam hal corat-mencoret. 

Aku, Zebra, dan Kongja
Tiga manusia aneh, yang satu berambut panjang konon adalah jelmaan Zebra, dan wanita di sebelahku saat itu lebih mirip Kongja. Tiga manusia aneh itulah yang membuat rasa penasaran di luar lingkaran. Adik-adik kecil pengunjung taman kian lama kian mendekat juga. Mereka ingin juga mencorat-coret lembaran kosong itu. Sungguh menyenangkan memang, seperti kata Iwan Fals “memberi itu terangkan hati, seperti matahari yang menyinari bumi”, ya, kami berbagi keceriaan senja di taman kota.
Beberapa anak mulai penasaran dengan kegiatan kami



Dan kami tidak mau begitu saja melewatkan keceriaan sederhana di taman kota saat itu, sepakat untuk mengulangnya kembali di minggu berikutnya.

Mendengar ada keceriaan taman di kota tetangga, membuat telinga kami bertiga tergelitik ingin tahu apa yan mereka lakukan. Berangkatlah kami menuju sarang mereka, oh iya, ada satu manusia goa dengan segala imajinasi liarnya yang ikut dengan kami, Aswin. Dan satu lagi perempuan, Vania.

Mereka juga seseruan di taman kota Batu. Ada Rio, Didi, dan Deno, tiga serangkai yang mirip dengan Aang, Saka, dan Katara. Mereka menamai kegiatan mereka Nandur Dulur yang dalam bahasa Indonesia bermakna menanam persaudaraan. Konon, nama Nandur Dulur keluar dari mulut seorang vokalis band ternama Kota Malang, Screaming Factor. Mas Novi yang mencetuskan nama tersebut. Sederhana dengan makna yang luar biasa, Nandur Dulur kami bawa turun ke Kota Malang.

Berbekal kuas, pensil, cat air, pensil warna, kertas, panggung boneka dan magical box yang berisi buku dan komik untuk anak-anak, kami bersiap dengan mengusung sebuah semangat Nandur Dulur di Kota Malang.

Kotak ajaib yang selalu menamani seseruan
Tak disangka memang, kegiatan sederhana tersebut menarik banyak minat orang-orang, satu persatu orang datang berkenalan dan menawarkan diri untuk ikut membantu, seperti Desi contohnya Meskipun hanya sebentar karena kesibukan di dunia pertanian, dia pernah merasakan berdesak-desakan dengan teman-teman lain di balik panggung boneka untuk menceritakan dongeng.

Mendongeng dan berdesakan
Bagaimanpun itu, hukum alam memang bekerja, beberapa teman datang dan pergi. Itu bukanlah masalah yang berarti, karena sedari awal memang tidak ada paksaan untuk siapa pun itu ikut berkontribusi di Nandur Dulur. Seperti kata Pak Maruto salah satu seniman keren Kota Malang “setiap karya akan menemukan jodohnya sendiri”, begitu juga Nandur Dulur, kami tidak takut akan kekurangan orang-orang yang ingin berbagi keceriaan.

Terbukti memang, Tintus, mahasiswi dengan keahlian memijat sapi ujuk-ujuk datang dengan senyum lebarnya. Siapa yang mengira perempuan berbadan gempal penuh tatto itu suka rela untuk mengajari anak-anak kecil menggambar.

Nandur Dulur semakin dikenal masyarakat, banyak para orang tua, anak, dan muda mudi menanti acara ini. Timbullah pertanyaan dari benak sebagian dari mereka, “bagaimana Nandur Dulur membiayai kegiatannya?”, dengan senyum ikhlas tanpa paksaan kami selalu jawab “kami membiayai dari uang kas, yang mana uang kas itu hasil dari patungan”. Dan jawaban kami tersebut menimbulkan pertanyaan untuk diri kami sendiri, “sampai kapan kita harus membiayai dari uang patungan?”. 

Muncullah ide untuk membuat produk, seperti kaos, kantong, emblem, atau stiker. Pepatah lama “kalau ada kemauan pasti ada jalan” masih berlaku ternyata. Tak lama setelah ide itu muncul, Pena Hitam sebuah kolektif sadis akan mengadakan ulang tahunnya yang ketiga di bukit paralayang. Dan kami pun ikut serta (meskipun kami tidak ikut dalam antrian daftar :p) dalam pesta tersebut dengan menggelar lapakan kami.

Alhasil, keuntungan yang kami dapat cukup untuk membeli peralatan menggambar dan memperbaiki panggung boneka (yang awalnya dari kardus bekas diganti dengan kayu).

Tak hanya teror bom yang cepat meluas, keceriaan sederhana di taman pun begitu juga. Terbukti teman-teman dari Kota Kediri mendengar kegiatan Nandur Dulur, hanya dengan sekali bertemu dan mengobrol tentang Nandur Dulur, mereka sepakat untuk membuat Nandur Dulur mereka di Kota Kediri. Sungguh menyenangkan saat virus seseruan di taman dapat tertular dan menyebar.

Virus itu pun menyebar kesegala lini, Iksan Skuter (meskipun beberapa kali aku menemui dia memakai selain skuter) pun ikut terinfeksi. Dibuatkanlah album CD Kecil Itu Indah yang berisikan lagu anak-anak tempo dulu.

Tak lengkap memang menceritakan sebuah kisah tanpa adanya konflik. Ya, kami juga sering mengalami konflik internal. Entah itu konflik pribadi, kolektif, pribadi yang dibawa ke kolektif. Dan bagiku, konflik adalah bagian dari proses kedekatan itu sendiri. Tidak mudah memang untuk menyatukan banyak kepala dalam satu rumah. Ada yang pergi dan juga bertahan, ini bukan karena benar dan salah, atau menang dan kalah. Kami hanya ingin menghormati pilihan setiap masing-masing individu. Karena aku sendiri tidak ingin jadi orang paling benar, karena orang benar hanya ada di kitab suci, dan pemenang itu sendiri adalah seorang pembunuh. Begitulah yang sering aku baca di buku.

Apapun yang pernah dilahirkan sudah pasti akan mengalami kematian, namun sebelum kematian itu datang, ada hal yang tidak boleh dilewatkan. Ulang Tahun :D.

Sulis, dari Australia workshop membuat hewan dari balon
Anggun meniup kue ulang tahun ND yang pertama
Karena kami tidak ingat betul tanggal kelahiran Nandur Dulur, kami putuskan untuk mengadakan ulang tahun di tanggal 15 November 2015. Acara yang awalnya disusun secara meriah, akhirnya setelah menimbang-nimbang kami adakan secara sederhana, mengingat Nandur Dulur memang mengutamakan kesederhanaan tanpa menghilangkan keceriaan.

Ulang tahun tersebut juga ikut menggandeng beberapa komunitas seperti Dari Masa Lalu, Posko Visual, Malang Berkebun, Berwaktu luang yang datang dari Kota Surabaya, dan Nandur Dulur Kediri. Dan beberapa musisi Kota Malang yang secara tiba-tiba kita dorong naik ke atas panggung. Dan satu lagi manusia kokoh tak tertandingi (meskipun dia sering mengeluh soal pinggang), Mas Aris atau biasa kita pangging MasBo.

Dan sampai sekarang, saat tulisan ini dibuat, Nandur Dulur masih menceriakaan taman. Masih mempunyai mimpi membangun sekolah gratis. Masih ingin berbagi. Masih mencari dan memupuk persaudaran. Masih mengingatkan pada semua bahwa bahagia tidak harus membeli. Masih belajar dan mengajar. Masih berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama tersenyum pada siapapun yang datang.

Oh iya, foto dan dokumentasi di atas adalah hasil dari jemari lentik Melati, manusia yang pertama aku mengenal mempunyai sebuah senjata yaitu biola dan kamera.

Terimakasih untuk kalian semua yang mengajariku sebuah proses bahwa berbagi itu tidak mengurangi. Terimakasih untuk kalian semua yang mengantarkanku ke dalam sebuah ‘rumah’.


Suasana setelah rapat Nandur Dulur di landasan Paralayang

Maaf untuk nama-nama yang tidak bisa aku sebut satu-persatu, karena begitu banyak nama yang ikut dalam proses Nandur Dulur. Tapi percayalah, aku cinta kalian semua.

Salam hangat dan peluk erat dariku.

Arief Puji Kusuma :)