Sabtu, 26 Maret 2016

Menikmati sisa hujan

Aku ingin membangun menara yang teramat tinggi. Agar aku bisa merasakan hujan berada di bawah telapak kakiku. Dan aku jugan ingin mencuri teropong bintang milik Nasa. Agar aku bias melihat orang-orang di bawah sana dengan cermat. Bagaimana mereka mengekspresikan hujan dengan beraneka cara. Mungkin dengan begitu aku lebih paham isi hati dan kepala mereka. Terlepas dari puisi dan caci maki.

Sering orang berpuisi saat hujan mengguyur bumi. Puisi tentang kenangan, harapan, kerinduan menggebu, keputusasaan dan kekecewaaan. Sering pula ungkapan caci maki dari penduduk bumi.

Ah hujan memang seperti Kota Yogya. Kerinduan dan kemurkaan tercampur di dalamnya. 

Atau seperti lambaian tangan yang memiliki dwi makna, selamat datang dan selamat jalan.

Aku sedang mengintip dengan satu mataku, lewat teropong tentunya. Aku melihat ada anak manusia yang melamun begitu serius, meskipun di seberang mejanya ada seorang yang juga begitu serius mengajaknya bicara. Aku melihat seorang bapak penjual bakso yang begitu sumringah, karena di dalam rombong dagangannya menjanjikan kehangatan. Aku juga melihat para remaja putra dan putri mengkerutkan dahi, teramat sayang memang dandanan begitu rapi dan wangi harus basah kuyup tersapu air dari bapak bumi
.
Hei! di mana bocah-bocah berada? Oh sial! Mereka hanya bias melihat hujan di balik jendela rumah.

Oh begitu ingin aku bersama Annelies sekarang. Tokoh ciptaan Pram itu begitu indah dalam imajinasiku. Seketika itu pula Annelies sekarang di sampingku. Dia tersenyum melihat tingkahku yang seolah paham betul isi manusia, lalu dia berbisik padaku, “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya”. Cukup Annelies, biarkan aku sibuk dengan kegiatanku. Sekarang kamu cukup duduk dan diam.

Lalu datang Hans Thomas, dia tersenyum menyeringgai dan bertanya, lebih ke memohon tepatnya. Apa kamu tidak ingin membangun menara lebih tinggi lagi? Konon katanya Tuhan ada jauh di atas sana? Aku melihatnya, melihat matanya, “kalaupun ada perlombaan petak umpet, Tuhanlah juarannya”.

Tak lama berselang datang sepasang Raja dan Ratu yang sempat menggemparkan tanah Jawa, Ken Arok dan Kendedes. Mereka hanya melihat lalu tersenyum lalu duduk mematung. “Hanya berdua?” tanyaku, tanpa menjawab dengan kata dia menoleh ke samping, tampak Raja Majapahi, Hayam Wuruk. Oh begitu bahagianya aku, kedatangan seorang tamu yang pernah membuat kerajaan tersohor sampai manca negara. Sejenak aku lupa dengan teropongku, lalu dengan kelimpungan mencari apa saja yang patut aku suguhkan kepada dia. Belum usai kebingunganku, dia berdiri sambil menepuk pundakku, “aku tak sehebat apa yang orang baca” lalu dia mendekatkan mukanya ke mukaku, “ingat, sejarah selalu ditulis oleh para pemenang”.

Aku tak sabar menunggu siapa lagi yang akan datang. Lama, hingga aku ingat kembali dengan teropongku. Sungguh aku terkejut saat mengintip dari lubang kecil itu. Aku melihat diriku sendiri yang sedang duduk di emperan toko sambil melamun sambil menghisap rokok sambil menunggu hujan yang tak kunjung reda. Oh kenapa aku bisa melihat diriku sendiri, dan begitu muramnya aku di sana. Sial!. Lalu datang sosok  begitu kecil yang teramat kecil yang melompat-lompat mengelilingi aku yang di sana. Untuk beberapa kalinya aku kembali melongo karena heran. Bukankah itu aku yang lain juga?!. Kenapa ada tiga aku dalam waktu sekaligus? Oh apakah ini pencerahan yang pernah di rasakan Bima di dasar laut saat bertemu Dewa Ruci? Tapi kenapa ada tiga aku? Sedangkan waktu itu hanya ada dua Bima? Sial!, pikirku.

Mungkin Socrates ada benarnya, jika ingin mengetahui rahasia semesta, maka mulailah dari rahasia diri sendiri.

Dan sekarang hujan sudah reda. Jalanan kembali ramai dengan robot-robot bernyawa.


Aku jatuh terjun bebas. Pondasi imajinasiku tak tersisa lagi. Oh realita, kenapa kamu begitu menyiksa.




Halaman Rumah Kosong
Tetangga Cygnus
2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar