Senin, 25 Juli 2016

Stasiun Kecil Remang Kota

Di sebuah senja stasiun kecil remang kota
Seorang lelaki tak lelah memumpuk asa
Rindu yang menggunung
Lelah yang meluber menjadi telaga

Dalam benak seorang lelaki
Menunggu adalah kebijaksanaan
Bagi kereta
Melaju adalah keharusan

Stasiun menjadi semakin remang
Jangkrik meledek genit
Untuk orang-orang yang teburu dewasa

Dalam benak seorang lelaki
Berjuang adalah kesadaran
Bagi rel kereta
Menopang adalah kewajiban

Stasiun kecil kota memasang telinga
Karena mendengarkan adalah
Sebaik-baiknya bicara
Dan merenung adalah
Sebaik-baiknya rasa

Senja stasiun kecil remang kota
Yang tak lagi magis
Karena ulah pemerintah





Minggu, 17 Juli 2016

Mimpi Yang Tak Kenal Jalan Pulang

Di balik jendela tebal
Kereta melaju cepat menuju tempat berpulang
Senja seperti biasanya
Indah dengan kesunyiannya
Diam yang menyudutkan

Di sisi lain jendela tebal itu
Lelaki bertumpuk mimpi
Perasaan asing yang tak sempat dibagi
Lelah dengan semua utopia
Yang tercetak di lembar-lembar buku

Lelaki itu sadar
Dia akan kalah pada akhirnya

Namun dia tidak sekalipun ingin membunuh mimpinya
Dia hanya ingin menyederhanakannya


Sabtu, 26 Maret 2016

Menikmati sisa hujan

Aku ingin membangun menara yang teramat tinggi. Agar aku bisa merasakan hujan berada di bawah telapak kakiku. Dan aku jugan ingin mencuri teropong bintang milik Nasa. Agar aku bias melihat orang-orang di bawah sana dengan cermat. Bagaimana mereka mengekspresikan hujan dengan beraneka cara. Mungkin dengan begitu aku lebih paham isi hati dan kepala mereka. Terlepas dari puisi dan caci maki.

Sering orang berpuisi saat hujan mengguyur bumi. Puisi tentang kenangan, harapan, kerinduan menggebu, keputusasaan dan kekecewaaan. Sering pula ungkapan caci maki dari penduduk bumi.

Ah hujan memang seperti Kota Yogya. Kerinduan dan kemurkaan tercampur di dalamnya. 

Atau seperti lambaian tangan yang memiliki dwi makna, selamat datang dan selamat jalan.

Aku sedang mengintip dengan satu mataku, lewat teropong tentunya. Aku melihat ada anak manusia yang melamun begitu serius, meskipun di seberang mejanya ada seorang yang juga begitu serius mengajaknya bicara. Aku melihat seorang bapak penjual bakso yang begitu sumringah, karena di dalam rombong dagangannya menjanjikan kehangatan. Aku juga melihat para remaja putra dan putri mengkerutkan dahi, teramat sayang memang dandanan begitu rapi dan wangi harus basah kuyup tersapu air dari bapak bumi
.
Hei! di mana bocah-bocah berada? Oh sial! Mereka hanya bias melihat hujan di balik jendela rumah.

Oh begitu ingin aku bersama Annelies sekarang. Tokoh ciptaan Pram itu begitu indah dalam imajinasiku. Seketika itu pula Annelies sekarang di sampingku. Dia tersenyum melihat tingkahku yang seolah paham betul isi manusia, lalu dia berbisik padaku, “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya”. Cukup Annelies, biarkan aku sibuk dengan kegiatanku. Sekarang kamu cukup duduk dan diam.

Lalu datang Hans Thomas, dia tersenyum menyeringgai dan bertanya, lebih ke memohon tepatnya. Apa kamu tidak ingin membangun menara lebih tinggi lagi? Konon katanya Tuhan ada jauh di atas sana? Aku melihatnya, melihat matanya, “kalaupun ada perlombaan petak umpet, Tuhanlah juarannya”.

Tak lama berselang datang sepasang Raja dan Ratu yang sempat menggemparkan tanah Jawa, Ken Arok dan Kendedes. Mereka hanya melihat lalu tersenyum lalu duduk mematung. “Hanya berdua?” tanyaku, tanpa menjawab dengan kata dia menoleh ke samping, tampak Raja Majapahi, Hayam Wuruk. Oh begitu bahagianya aku, kedatangan seorang tamu yang pernah membuat kerajaan tersohor sampai manca negara. Sejenak aku lupa dengan teropongku, lalu dengan kelimpungan mencari apa saja yang patut aku suguhkan kepada dia. Belum usai kebingunganku, dia berdiri sambil menepuk pundakku, “aku tak sehebat apa yang orang baca” lalu dia mendekatkan mukanya ke mukaku, “ingat, sejarah selalu ditulis oleh para pemenang”.

Aku tak sabar menunggu siapa lagi yang akan datang. Lama, hingga aku ingat kembali dengan teropongku. Sungguh aku terkejut saat mengintip dari lubang kecil itu. Aku melihat diriku sendiri yang sedang duduk di emperan toko sambil melamun sambil menghisap rokok sambil menunggu hujan yang tak kunjung reda. Oh kenapa aku bisa melihat diriku sendiri, dan begitu muramnya aku di sana. Sial!. Lalu datang sosok  begitu kecil yang teramat kecil yang melompat-lompat mengelilingi aku yang di sana. Untuk beberapa kalinya aku kembali melongo karena heran. Bukankah itu aku yang lain juga?!. Kenapa ada tiga aku dalam waktu sekaligus? Oh apakah ini pencerahan yang pernah di rasakan Bima di dasar laut saat bertemu Dewa Ruci? Tapi kenapa ada tiga aku? Sedangkan waktu itu hanya ada dua Bima? Sial!, pikirku.

Mungkin Socrates ada benarnya, jika ingin mengetahui rahasia semesta, maka mulailah dari rahasia diri sendiri.

Dan sekarang hujan sudah reda. Jalanan kembali ramai dengan robot-robot bernyawa.


Aku jatuh terjun bebas. Pondasi imajinasiku tak tersisa lagi. Oh realita, kenapa kamu begitu menyiksa.




Halaman Rumah Kosong
Tetangga Cygnus
2016

Rabu, 23 Maret 2016

Meluapkan Segala Kebencian Begitulah Mati Dengan Kebebasan

Seperti kata Pram
Aku ingin menjadi manusia bebas
Tidak diperintah dan tidak memerintah

Semasa kecil
Aku suka bermain ke sana dan ke mari
Hingga suara adzan magrib berkumandang
Yang artinya aku melewatkan jadwal untuk mengaji

Pulang ke rumah dengan detak jantung berpacu cepat
Bapak selalu siap di depan rumah dengan rotannya
Aku dihajar
Sejak saat itu aku mengenal rasa benci
Aku benci bapakku
Sendiri

Jikala ibu-ibu sedang berkumpul
Apalagi yang digunjingan kalau tidak tetangga sendiri
Begitu pula dengan ibukku
Sialnya dia merendahkan anaknya sendiri
Aku
Sejak itu aku mengenal rasa iri
Iri pada anak sebayaku

Teman-temanku
Selalu mengejekku karena aku kurus
Hitam legam
Sejak saat itu aku mengenal rasa dendam
Dendam pada teman-temanku

Beranjak dewasa
Teknologi semakin menggila
Orang-orang hanya ingin menundukkan kepala
Demi sebuah komunikasi dari siapa entah di mana

Atau tentang pasukan dengan selongsong senapan
Yang selalu bertintdak bak ksatria
Di jalanan kota dengan tank-tank baja
Atau dengan sepatunya di kepala para rakyat jelata

Sejak saat itu aku benci dunia

Dan saat ini
Saat-saat hujan turun
Membasahi apa saja yang tak terlindungi atap
Saat mataku sayu memandangi matahari senja

Aku ingin kamu di sini

Bercerita tentang indahnya dunia
Tentang bagaimana manusia memanusiakan manusia

Aku ingin kamu di sini

Bercerita tentang aku di matamu
Hingga aku sadar
Bahwa aku juga berhak untuk membenci diriku sendiri

Karena di saat dulu
Bersamamu
Aku menghabiskan waktu dengan kata-kata kosongku
Yang tak bermakna
Seperti bapakku
Ibukku
Teman-temanu

Senin, 01 Februari 2016

Pulang

Galaksi belum juga bisa mengingat jalan yang telah dilewatinya tadi. Dia kelimpungan, menoleh ke sana dan ke mari, hanya tampak barisan pepohonan yang tidak rapi, dan beberapa kali hewan-hewan yang melompat, ada juga yang setia mengawasinya.

Dia lelah, ditaruhnya tas ransel berukuran sepaha orang dewasa. Tidak terlalu besar untuk orang yang berniat berlama-lama di alam bebas. Dia tersesat.

Tak lama setelah Galaksi merebahkan semua bagian tubuhnya ke tanah, suara pijakan kaki terdengar dan semakin lama semakin mendekat pula. Seketika itu juga dia terbangun dari rebahnya. Nampak seorang tua melemparkan senyum kepadanya. “mau ke mana nak”, tanya orang tua itu dengan kesopanan khas orang jawa. “pulang”, jawaban yang keluar begitu saja dari mulut Galaksi. Mata Galaksi mengawasi orang tua itu dengan seksama, dan berhenti pada tangannya yang memegang sebuah golok besar. Tidak mudah memang bagi orang kota untuk percaya pada orang asing yang baru ditemuinya.

“hari sudah semakin sore, kalong sudah keluar dari persembunyian, tidak lama lagi akan gelap, jika anak capek dan mau singgah, aku sangat mempersilahkan”

“tidak, terimakasih, aku harus pulang”

“pulang ke mana? Tidak ada rumah bagi orang yang tersesat”

Galaksi habis kata, dia terdiam sejenak, mungkin akan lama jika orang tua itu tidak cepat-cepat melangkah menuju sebuah tanah yang cukup lapang. Dan tepat di tengah tanah lapang itu berdiri sebuah bangunan kayu yang begitu indah dan kokoh. “Ini rumah kakek?”, orang tua tersebut tidak lantas menjawabnya dengan kata, namun digantikan gestur tangan yang mempersilahkan Galaksi masuk.

Dibuatkanlah kopi dan singkong rebus. Sambil melihat sekeliling rumah, Galaksi berpikir untuk memulai sebuah obrolan guna mencairkan suasana.

“ini rumah kakek?”

“ya, aku sendiri yang membangunnya”

“di mana keluarga kakek?”

“kota”

Obrolan mati. Hanya terdengar suara daun dan batang pohon yang saling bergesekan karena lalu lalang hewan malam.

“tujuan anak ke mana?”

“sebenarnya tidak ada tujuan pasti, hanya ingin sendiri, namun sial, aku lupa jalan pulang”
Kakek itu meminum kopinya dan menyalakan rokok.

Dengan batuk yang dibuat-buat, Galaksi memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh tentang kakek, “kek, kenapa kakek ingin berdiam sendiri di sini?, ke mana keluarga kakek?”. Kakek itu menoleh lemas kepada Galaksi.

“Di dunia yang orang-orangnya haus akan hiruk pikuk, kesunyian adalah sebuah kemewahan”, kalimat kakek yang mengambang di udara dan tatapan mata yang menjurus entah ke mana. Seketika itu pula kenangan masa lalu menerobes tanpa permisi.

Pada saat itu, kakek yang masih muda dan penuh semangat pembaharuan dan salah menempatkan diri. Dia orang benar di waktu yang salah. Pagi-pagi buta pintu rumah digedor dengan laras senjata. Semua isi rumah diobrak-abrik, malang benar nasibnya, ditemukan pedang pula di rumahnya. Kakek berhasil kabur melompati pagar halaman belakang dan membelah perkebunan tebu. Namun tidak bagi istri kakek. Mereka dituduh komunis. Ya, di negeri ini menjadi seorang komunis dipandang sangat hina, lebih hina dari seekor babi yang hidupnya berkubang tahi.

Ya, di negeri ini, orang bisa begitu saja dihukum tanpa pengadilan. Kakek terus saja berlari membela perkebunan tebu, sesekali menoleh kebelakang, dan akhirnya berhenti di pinggiran kali.
Degup jantung mulai meredah, pikiran mulai mengambil alih. Kakek menyesal sebegitu hebat atas penangkapan istrinya. Pertanyaan-pertanyaan yang memburu terus berdatangan. “Kenapa, kenapa aku meninggalkan istriku begitu saja”.

Angin menembus halus dari sela-sela kayu, hewan-hewan malam sibuk dalam dunianya, dan detik jam terus berputar dan umur manusia yang setetes demi setes ikut cair mengekornya. Dua manusia yang khusyuk memandangi perapian dan kopi yang mulai dingin. Malam begitu lambat.

“lalu di mana sekarang istri kakek”

“rumah ini nak, rumah inilah yang telah aku siapkan untuk kepulangan istriku, tak peduli dia masih bernapas atau hanya sebentuk onggokan daging ”

“aku tidak tahu betul bagaimana keadaan dia sekarang, aku sudah coba cari tahu tentang dia, namun orang-orang desa menjauh saat aku dekati, hanya saja waktu itu ada anak kecil yang berteriak mengatakan kalau istriku sudah meninggal. Itu pun keluar dari mulut seorang bocah”

Kakek meminum kopi dingin dan kembali membakar rokok, “rumah inilah tempat aku mengundang istriku, dengan kopi tanpa gula dan asap tembakau, ya, meskipun hanya kenangannyalah yang datang”

Galaksi hanya diam sedari tadi, dia sadar akan kelemahan dirinya di depan seorang tua yang sarat pengalaman. Mungkin hanya tenaga satu-satunya poin yang bisa mengalahkan kakek tua itu. Dia memilih senjata yang paling tepat, menjadi pendengar yang baik.

“ada satu lagi nak yang membuat kakek cemas akhir-akhir ini. Rumah ini akan digusur oleh pemerintah, alasan mereka karena ini adalah hutan lindung. Aku tidak tahu tentang berkas, surat, riwayat yang mereka minta. Aku hanya tahu hutan inilah salah satu saksi nyata sejarah Indonesia. Di sinilah para tentara gerilya bersembunyi dan mengatur strategi, hutan inilah yang menampung para pembangkang yang tidak mau tunduk pada penjajah”

“ya, aneh memang, di dunia seperti sekarang ini manusia dinilai dari berkas-berkas, hanya dari selembar-selembar kertas” galaksi menimpali.

“lalu, apakah kakek akan bertahan di sini? Atau meninggalkan kerja keras yang selama ini kakek kerjakan? Apakah mereka tidak bisa dilawan?” galaksi meneruskan.

“aku terlalu sibuk untuk melawan diriku sendiri, sibuk untuk membenci diriku sendiri”

Kakek terdiam, tampak asap keluar dari mulutnya dan akhirnya hilang bersama angin malam.

Galaksi pun begitu.

Mereka berdua diam.

“lalu bagaimana dengan kamu, nak? Ke manakah anak akan pulang” Kakek bertanya dengan suara seraknya.

“aku ingin pulang, kek”

“Pulang ke rumah tidak semudah seperti yang kita ramalkan. Seperti tercebur dalam sungai yang sama. Dan kamu tidak tahu siapa yang menantimu di balik pintu itu. Karena pulang berarti menjumpai yang selama ini kamu tinggalkan”

“aku tidak hanya ingin pulang, aku ingin ke rumah”

“rumah itu bukan sekedar bangunan, rumah adalah saat kamu bangun dari tidur dan ada sejuta senyum yang menyapamu. Apakah kamu sudah mendapatkan rumah? ”

“aku tidak tahu, tapi aku pernah mendapatkan rumah, di sebuah kota yang jauh dari sini, dan ke sanalah aku aku pulang”

“apa kamu siap?”

“aku tidak tahu pasti, aku tidak tahu seperti apa di sana sekarang, orang-orangnya, udaranya, suasananya”

“nak, pulang ke rumah tidak harus sama seperti dulu. Pulang adalah apa yang kamu rasa, adalah tentang orang-orang yang peduli dengan kamu, yang menerima semua kebaikanmu dan keburukanmu”

Kakek meminum kopinya sampai habis dan mematikan bara rokoknya. Sebuah isyarat untuk segera meletakkan punggung di kasur.

~~~

Pagi begitu dingin.

Galaksi telah siap untuk meninggalkan sebuah rumah kayu istimewa yang diperuntukkan untuk seorang istimewa pula. Sebelum berpamitan dan meninggalkan itu semua. Sekali lagi dia bertanya kepada kakek.

“Kek, apa kakek akan mempertahankan rumah ini”

“Meluapkan segala kebencian, begitulah mati dengan kebebasan”, kakek menjawab dengan bibir gemetar.

“terimaksih untuk rumah, dan kopi, dan singkong rebusnya kek, maaf aku tak bisa memberi apa-apa”

“waktu nak, kamu telah memberi aku waktu, yang tak semua orang dapat memberinya dengan cuma-cuma”.

Pagi menjadi siang dan berganti malam. Rumah itu tetap hangat menanti seorang manusia renta yang entah ke mana…

Jumat, 22 Januari 2016

Rumah itu Bernama Nandur Dulur

Pasti dari setiap kita pernah mengalami hal-hal tersulit. 

Ya, hal tersebut tidak bisa dinilai secara sembrono, karena tidak ada peran pengganti untuk merasakan luka dalam diri kita. Setahun yang lalu, aku merasakan hal tersebut, melambung tinggi lalu jatuh dengan sekali jadi. Bukan bagaimana aku terjatuh yang ingin aku ceritakan di sini, namun apa yang aku lakukan setelah itu.

Aku tak ingat pasti tanggal berapa, namun minggu senja dan taman kota adalah kombinasi yang aduhay untuk berkumpul bertukar cerita bersama teman. Aku, Lintang, dan Nadia, bertiga melingkar sambil memegang kuas. Ah bodoh memang aku dalam hal corat-mencoret. 

Aku, Zebra, dan Kongja
Tiga manusia aneh, yang satu berambut panjang konon adalah jelmaan Zebra, dan wanita di sebelahku saat itu lebih mirip Kongja. Tiga manusia aneh itulah yang membuat rasa penasaran di luar lingkaran. Adik-adik kecil pengunjung taman kian lama kian mendekat juga. Mereka ingin juga mencorat-coret lembaran kosong itu. Sungguh menyenangkan memang, seperti kata Iwan Fals “memberi itu terangkan hati, seperti matahari yang menyinari bumi”, ya, kami berbagi keceriaan senja di taman kota.
Beberapa anak mulai penasaran dengan kegiatan kami



Dan kami tidak mau begitu saja melewatkan keceriaan sederhana di taman kota saat itu, sepakat untuk mengulangnya kembali di minggu berikutnya.

Mendengar ada keceriaan taman di kota tetangga, membuat telinga kami bertiga tergelitik ingin tahu apa yan mereka lakukan. Berangkatlah kami menuju sarang mereka, oh iya, ada satu manusia goa dengan segala imajinasi liarnya yang ikut dengan kami, Aswin. Dan satu lagi perempuan, Vania.

Mereka juga seseruan di taman kota Batu. Ada Rio, Didi, dan Deno, tiga serangkai yang mirip dengan Aang, Saka, dan Katara. Mereka menamai kegiatan mereka Nandur Dulur yang dalam bahasa Indonesia bermakna menanam persaudaraan. Konon, nama Nandur Dulur keluar dari mulut seorang vokalis band ternama Kota Malang, Screaming Factor. Mas Novi yang mencetuskan nama tersebut. Sederhana dengan makna yang luar biasa, Nandur Dulur kami bawa turun ke Kota Malang.

Berbekal kuas, pensil, cat air, pensil warna, kertas, panggung boneka dan magical box yang berisi buku dan komik untuk anak-anak, kami bersiap dengan mengusung sebuah semangat Nandur Dulur di Kota Malang.

Kotak ajaib yang selalu menamani seseruan
Tak disangka memang, kegiatan sederhana tersebut menarik banyak minat orang-orang, satu persatu orang datang berkenalan dan menawarkan diri untuk ikut membantu, seperti Desi contohnya Meskipun hanya sebentar karena kesibukan di dunia pertanian, dia pernah merasakan berdesak-desakan dengan teman-teman lain di balik panggung boneka untuk menceritakan dongeng.

Mendongeng dan berdesakan
Bagaimanpun itu, hukum alam memang bekerja, beberapa teman datang dan pergi. Itu bukanlah masalah yang berarti, karena sedari awal memang tidak ada paksaan untuk siapa pun itu ikut berkontribusi di Nandur Dulur. Seperti kata Pak Maruto salah satu seniman keren Kota Malang “setiap karya akan menemukan jodohnya sendiri”, begitu juga Nandur Dulur, kami tidak takut akan kekurangan orang-orang yang ingin berbagi keceriaan.

Terbukti memang, Tintus, mahasiswi dengan keahlian memijat sapi ujuk-ujuk datang dengan senyum lebarnya. Siapa yang mengira perempuan berbadan gempal penuh tatto itu suka rela untuk mengajari anak-anak kecil menggambar.

Nandur Dulur semakin dikenal masyarakat, banyak para orang tua, anak, dan muda mudi menanti acara ini. Timbullah pertanyaan dari benak sebagian dari mereka, “bagaimana Nandur Dulur membiayai kegiatannya?”, dengan senyum ikhlas tanpa paksaan kami selalu jawab “kami membiayai dari uang kas, yang mana uang kas itu hasil dari patungan”. Dan jawaban kami tersebut menimbulkan pertanyaan untuk diri kami sendiri, “sampai kapan kita harus membiayai dari uang patungan?”. 

Muncullah ide untuk membuat produk, seperti kaos, kantong, emblem, atau stiker. Pepatah lama “kalau ada kemauan pasti ada jalan” masih berlaku ternyata. Tak lama setelah ide itu muncul, Pena Hitam sebuah kolektif sadis akan mengadakan ulang tahunnya yang ketiga di bukit paralayang. Dan kami pun ikut serta (meskipun kami tidak ikut dalam antrian daftar :p) dalam pesta tersebut dengan menggelar lapakan kami.

Alhasil, keuntungan yang kami dapat cukup untuk membeli peralatan menggambar dan memperbaiki panggung boneka (yang awalnya dari kardus bekas diganti dengan kayu).

Tak hanya teror bom yang cepat meluas, keceriaan sederhana di taman pun begitu juga. Terbukti teman-teman dari Kota Kediri mendengar kegiatan Nandur Dulur, hanya dengan sekali bertemu dan mengobrol tentang Nandur Dulur, mereka sepakat untuk membuat Nandur Dulur mereka di Kota Kediri. Sungguh menyenangkan saat virus seseruan di taman dapat tertular dan menyebar.

Virus itu pun menyebar kesegala lini, Iksan Skuter (meskipun beberapa kali aku menemui dia memakai selain skuter) pun ikut terinfeksi. Dibuatkanlah album CD Kecil Itu Indah yang berisikan lagu anak-anak tempo dulu.

Tak lengkap memang menceritakan sebuah kisah tanpa adanya konflik. Ya, kami juga sering mengalami konflik internal. Entah itu konflik pribadi, kolektif, pribadi yang dibawa ke kolektif. Dan bagiku, konflik adalah bagian dari proses kedekatan itu sendiri. Tidak mudah memang untuk menyatukan banyak kepala dalam satu rumah. Ada yang pergi dan juga bertahan, ini bukan karena benar dan salah, atau menang dan kalah. Kami hanya ingin menghormati pilihan setiap masing-masing individu. Karena aku sendiri tidak ingin jadi orang paling benar, karena orang benar hanya ada di kitab suci, dan pemenang itu sendiri adalah seorang pembunuh. Begitulah yang sering aku baca di buku.

Apapun yang pernah dilahirkan sudah pasti akan mengalami kematian, namun sebelum kematian itu datang, ada hal yang tidak boleh dilewatkan. Ulang Tahun :D.

Sulis, dari Australia workshop membuat hewan dari balon
Anggun meniup kue ulang tahun ND yang pertama
Karena kami tidak ingat betul tanggal kelahiran Nandur Dulur, kami putuskan untuk mengadakan ulang tahun di tanggal 15 November 2015. Acara yang awalnya disusun secara meriah, akhirnya setelah menimbang-nimbang kami adakan secara sederhana, mengingat Nandur Dulur memang mengutamakan kesederhanaan tanpa menghilangkan keceriaan.

Ulang tahun tersebut juga ikut menggandeng beberapa komunitas seperti Dari Masa Lalu, Posko Visual, Malang Berkebun, Berwaktu luang yang datang dari Kota Surabaya, dan Nandur Dulur Kediri. Dan beberapa musisi Kota Malang yang secara tiba-tiba kita dorong naik ke atas panggung. Dan satu lagi manusia kokoh tak tertandingi (meskipun dia sering mengeluh soal pinggang), Mas Aris atau biasa kita pangging MasBo.

Dan sampai sekarang, saat tulisan ini dibuat, Nandur Dulur masih menceriakaan taman. Masih mempunyai mimpi membangun sekolah gratis. Masih ingin berbagi. Masih mencari dan memupuk persaudaran. Masih mengingatkan pada semua bahwa bahagia tidak harus membeli. Masih belajar dan mengajar. Masih berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama tersenyum pada siapapun yang datang.

Oh iya, foto dan dokumentasi di atas adalah hasil dari jemari lentik Melati, manusia yang pertama aku mengenal mempunyai sebuah senjata yaitu biola dan kamera.

Terimakasih untuk kalian semua yang mengajariku sebuah proses bahwa berbagi itu tidak mengurangi. Terimakasih untuk kalian semua yang mengantarkanku ke dalam sebuah ‘rumah’.


Suasana setelah rapat Nandur Dulur di landasan Paralayang

Maaf untuk nama-nama yang tidak bisa aku sebut satu-persatu, karena begitu banyak nama yang ikut dalam proses Nandur Dulur. Tapi percayalah, aku cinta kalian semua.

Salam hangat dan peluk erat dariku.

Arief Puji Kusuma :)

Minggu, 06 Desember 2015

Damai Yang Aku Cari Tidak Lebih Jauh Dari Urat Leherku



Aku menyesatkan diriku sendiri ke sebuah desa yang aku sendiri tidak tahu namanya. Semeru, Gunung Semeru itulah tujuanku awal, namun kenapa semakin dekat tujuan awalku, aku merasa semakin tidak menarik Gunung suci tersebut. Sampah plastik, makanan ciptaan laboratorium pabrik, orang-orang yang hanya beberapa kali mendaki gunung namun cukup lancar untuk menceritakan semua hal tentang gunung, bullshit, pikirku. Tidak sepantasnya mereka sok tahu tentang gunung meskipun itu terlontar dari tenggorokan orang yang sudah beratus kali naik gunung. Tidak ada yang tahu rahasia alam kecuali alam itu sendiri.

Aku berdiri berdempetan dengan banyak orang sekaligus dalam truk. Seketika itu juga pikiran nakalku melesat begitu saja. Tidak hanya untuk hewan, manusia yang akan ke alam bebas butuh rehabilitasi lebih dulu. Seekor serigala di alam bebas yang diburu untuk dijadikan hewan peliharaan, yang setiap hari diberi makanan siap saji, tempat tidur dari beludru. Seperti halnya nasib serigala, banyak manusia lupa bahwa mereka sejatinya adalah mahkluk bebas.

Sendiri bukanlah hal yang asing bagiku, seperti sekarang ini aku dikelilingi oleh pepohonan dan lahan pertanian penduduk lokal yang maha luas. Ku putuskan untuk berhenti di tengah jalan dan sesegera melompat dari bak truk. Tidak ada tujuan pasti memang, tapi itu yang menarik dari hidup. Kita tak sedikit pun tahu apa yang terjadi di depan sana, kecuali aku adalah peramal dengan bola kristal, itu pun kalau mereka benar-benar nyata.

Selama perjalan di sebuah desa ini, aku melihat bahwa apa yang diobrolkan orang-orang di kota sana tentang kemajuan tekhnologi sama sekali tidak berlaku di sini. Di mana traktor? Di mana alat penyebar pestisida dengan sekali tekan tombol?

Sebuah bukit telah aku daki kali ini, istirahat untuk beberapa menit mungkin cukup baik bagi tubuh seorang warga kota. Sesekali melihat ke arah langit, mungkin ada baiknya juga tekhnologi yang sedemikian rupa tidak masuk ke desa ini. Aku melihat seorang ibu yang berjalan begitu jauh dari rumah ke lahan pertanian, namun tak terdengar sedikit pun napas yang berat keluar dari hidungnya, apalagi tentang keluh kesah. Bayangkan jika tekhnologi yang bersahabat dengan manusia namun tidak dengan alam itu masuk. Aku yakin ibu dengan umur setua itu tidak mampu lagi berjalan jauh. Baik-baik saja itu memang dapat membunuh.

Mataku tidak henti-hentinya untuk meminta leherku bergerak ke kanan dan ke kiri. Apa yang terjadi sepuluh tahun lagi? Semoga tetap sayur dan buah yang mereka tanam, bukan beton. Damai memang dalam situsi seperti ini, namun tidak bagi petani yang sempat aku temui sepanjang perjalan tadi, di mana Dewi Sri yang diagungkan dalam cerita Jawa saat para petani harus panen lebih awal karena serangan hama, atau karena cuaca tak lagi bisa diprediksi.

Permasalahan orang kota bagaimana mereka besok dapat makan, permasalahan orang desa bagaiaman orang kota besok dapat makan. Lucu memang, saat para petani dengan giat bekerja untuk kebutuhan di kota, kita orang kota tidak sedetik pun memikirkan mereka. Kita terlalu sibuk dengan deadline harian, macet, takut terlambat, banjir, dan hal sampah lainnya.

Hmmmm….

             Semakin lama di sini, semakin muak batinku dengan kemajuan, diperparah lagi karena aku secara tidak langsung menikmati kemajuan peradaban. Damai yang aku impikan tidak kutemui di sini. 

Damai sejati hanya ada di pemakaman.