Selasa, 20 Januari 2015

Lingga Yoni (3)

Sebuah jalan besar yang amat panjang dan aku selalu menoleh ke belakang. Ingin rasanya aku memutar kepalaku sehingga aku tahu apa yang ada di depanku. Seakan sendi-sendi leherku tak mau bekerja sama, kepalaku tidak dapat menuruti keinginanku. Aku tetap menoleh ke belakang untuk beberapa saat. Aku rasakan ngilu yang amat dalam menusuk tulang rahang dan tulang belakangku. Tubuhku sudah lelah. Dan pada akhirnya ketika aku berhasil memaksa kepalaku untuk melihat ke depan, aku langsung terbangun, dengan keringat yang begitu deras melumuri tubuhku.

Mimpi yang sama itu terus menerus terulang.
Mungkin ini sudah ke lima kalinya mimpi yang sama itu datang. Apa artinya?

Tempatkan sesuai porsinya
Adakalanya manusia merasakan kejanggalan dalam situasi tertentu
Seakan dia pernah mengalami kejadian ini sebelumnya
Tapi entah di mana
Sebuah kenangan tidak layak dibuang
Tempatkan sesuai porsinya

Selembar surat tergantung di dinding dekat jendela kamarku. Bertumpuk dengan pernak-pernik kalung koleksiku. Entah dari mana dan dari siapa surat ini. Tanpa nama pengirim, tanggal, dan alamat. Hanya orang iseng pikirku. “Bu, surat ini dari siapa?”, “Oh surat yang tergantung di dinding itu?, ibu tidak tahu, tiba-tiba ada di depan pintu pagi ini, awalnya ada namamu di surat itu, ditulis di kertas yang berbeda, namun karena mungkin perekatnya kurang erat, jatuh saat ibu angkat”. “Sekarang di mana kertasnya?”, aku menuruni anak tangga menuju ruang di mana ibu sedang mengajak bercanda tanamannya. “Itu, di meja makan”. Aku bergegas menuju meja makan, dan benar saja, ada namaku di sobekan kertas itu. Pratiwi.
___

Jalanan jakarta seperti biasanya. Tanpa orang tersenyum, tanpa sapaan ramah, hanya bunyi klakson yang teramat ramai masuk dalam gendang telingaku, membuatku sulit membedakan mana hinaan dan mana kata pujian. Semuanya sama, terangkum dalam setiap detik kota metropolitan yang mau tenggelam. Begitu muram dunia ini. Kondisi sepeti inilah yang selalu aku jadikan senjata setiap ada orang yang bertanya “kok belum nikah?”. Aku tidak ingin membagi kesialan hidup di kota seperti ini dengan orang yang aku sayang, dan satu lagi, aku tidak ingin melahirkan seorang anak dengan kondisi bumi yang tidak ramah dan dengan manusia yang lupa cara tersenyum. Dunia muram, bukan karena tak ada pendar cahaya. Banyak hati yang muram dan ingkar pada kebenaran.

“hallo bro, tumben jam segini sudah datang?”, teriak teman kerjaku yang hanya terlihat bagian atas tubuhnya karena tertutup oleh meja bar. Aku kerja di sebuah kedai kopi milik teman, Erwan, yang hanya seukuran ruang kerja anggota DPR, ditambah dengan luas kamar mandi mereka. Aku mengandaikannya seperti itu. Ejekan sekaligus pujian karena aku samakan dengan ruang kerja anggota dewan terhormat negara. Itu karena aku tidak ingin menyakiti hati temanku dan aku masih butuh kerja di sini. “Iya bro, mau gimana lagi, AC di kamar kos lagi mati, itung-itung numpang AC di sini”. “Oooo gue kira karena nunggu si pratiwi?”. “Eh iya, ke mana dia belum kelihatan batang hidungnya?”. Mulut Erwan belum sempat terbuka saat tiba-tiba pintu kedai terbuka dan seorang perempuan masuk dengan wajah datar. “barusan diobrolin, eh udah nongol aja lu”, Erwan mengganti ucapan selamat datang dengan kalimat yang membuat wajah datar berganti wajah heran. “Kopi satu tanpa gula”, tanpa basa-basi Pratiwi memesan dan duduk di meja bar, sedetik kemudian membuka selembar kertas yang berisi surat dari orang misterius.

Pratiwi selalu duduk di meja bar. Bukan karena dia selalu di tempat ini sendirian, namun karena dia suka aroma kopi. Berkah baginya, musibah bagiku. Karena dengan dia di sana, aku sering tidak fokus meracik setiap kopi pesanan. Aroma parfumnya, mata sipitnya yang terhalang kacamata, dan satu lagi, dia sering berbicara pada dirinya sendiri dengan nada yang dapat aku dengar.
Semua yang dibicarakan tentang kisah cintanya pada seorang pemuda kota asalnya. Alkisah mereka sempat merajut cinta, namun jarak dan hadangan tangan dari orang tua yang membuat mereka berpisah. Lebih parahnya lagi, pemuda idaman Pratiwi tidak sekalipun mengirim kabar, bahkan hanya sekedar sapa. Alhasis, Pratiwi mencari kabar dan mendapatkannya dari media sosial dan yang pada akhirnya membuat Pratiwi jatuh pada titik terendahnya. Dia melihat foto pemuda itu dengan seorang perempuan lain.

Aku mengetahui semua itu bukan karena aku ingin tahu, namun gelombang suara Pratiwi yang melewati udara sampai dengan tanpa seijin masuk dalam gendang telinga. “Siapa kamu?” Pratiwi mengawali monolognya dan aku seperti sapi glongongan yang mau tidak mau harus menelan air yang dimasukkan dengan paksa ke mulutku. Begitu menjengkelkan memang. Namun setelah beberapa minggu mengalami hal yang serupa dengan cerita yang berbeda, aku seperti ibu-ibu kompleks yang menunggu tukang sayur datang. Aku menanti ceritanya. Aku menikmati saat-saat aku diperkosa.

“Aku Galaksi” ku jawab dengan senyum lebar dan sialnya dia tidak menoleh barang sedetik pun. “Bagaiman bisa kamu tahu namaku, alamatku?. Dan kenapa isi surat itu begitu membuatku emmm, entahlah”. Mataku mengamati dia dengan khusyuk, sesang telingaku meraba-raba udara yang merambatkan suaranya. Mulutnya terus saja merapalkan aksara, namun semakin hening. Hening. Hening. Krik krik krik krik…

“Eh nanti malam ke mana?, gak ada rencana tahun baruan nih?” tanyaku dengan nada hambar. Usaha yang kesekian kali akhirnya bisa menggelitik matanya menuju mataku. “aku gak suka malam, lebih suka siang” jawabnya ketus “itu kenapa aku selalu ingin menyendiri saat senja, aku berharap suatu saat Semesta maklum padaku dengan menghentikan waktu saat matahari akan bertugas menyinari bumi bagian lain”. “kenapa dengan malam?” balasku penuh keheranan. “aku tak punya alasan untuk menyukai malam, itu kenapa aku suka matahari”.
___

Benar saja, Pratiwi hanya sendiri di malam tahun baru. Kamarnya begitu terang dengan lampu warna-warni. Mungkin orang menganggap dia sedang merayakan tahun baru, namun kenyataannya dia menemukan penjaranya saat malam tiba. Bukan tanpa alasan kenapa dia tidak suka malam. Pratiwi selalu menghabiskan malam dengan kekasihnya, mantan lebih tepatnya. Ingatannya begitu kuat saat dia berdua di atas ranjang menyambut mentari dengan kepala dia di atas dada pasangannya. Menghitung detak jantung sang mantan hingga fajar menjelang.

“Tiwiiii, ada surat buat kamu”, teriak ibunya dari lantai dasar, disusul ocehan yang samar “gila nih orang, udah tau tengah malam, eh masih aja ngirim surat”. Pratiwi meloncat dari tempat tidurnya, berlari menuruni anak tangga dan dengan sigap membuka surat yang masih tergeletak di meja ruang tamu. “tanpa nama pengirim”, dia berbisik pada dirinya sendiri.  

Di luar langit berwarna-warni
Bukan karena kerlip bintang
Namun karena keangkuhan manusia
Merayakan pesta
Kita hidup dalam tubuh yang sepi
Dengan bedak dan parfum yang ramai
Menghiasi bumi
Cinta yang baik memang tak pernah berisik

Kemarin, hari ini, dan besok atau lusa sama seperti biasanya. Manusia yang dikejar oleh mimpinya, waktu yang terlalu sombong, bahkan hanya untuk berhenti sedetik menikmati kopi dan kretek. Pabrik-pabrik yang berlomba memuaskan keinginan konsumen. Pelayan-pelayan yang memaksakan senyum ke pelanggan. Manusia yang bingung mencari uang dan paham di mana kelak akan menghabiskannya. Para pemuka agama yang gagah berani dengan tanpa dosa menghalalkan pembunuhan. Ya, dunia sedang tidak baik-baik saja. Itu kenapa aku ingin mati muda.

Terhitung sudah dua tahun aku kerja di kedai kopi milik Erwan. Aku bosan dengan kota ini, bukan kedai ini. Semua terasa sama, tanpa ada sesuatu yang berbeda di setiap harinya. Namun kali ini setelah dua tahun aku kerja di sini, aku menemukan momen yang jarang aku temui. SI pembawa berita, Pratiwi, begitu muram. Dia hanya diam di depan meja bar. Kopi yang sedari tadi di atas meja tak tersentuh oleh tangan mungilnya. Pandanggannya kosong menatap sekitaran luar jendela. “gimana malam tahun barumu?” tanyaku yang hanya dalam hati, karena aku tahu dia sama sekali tidak tertarik sengan kata malam. “bagaimana harimu?” sekali lagi hanya dalam hati, karena aku tahu, pertanyaan basa-basi seperti itu tidak bakal mengundang matanya tertuju padaku. Dia hanya diam. Dan yang membuatku semakin resah adalah dia seharian di kedai ini. Itu hal yang sangat jarang dia lakukan. Matahari akan digusur oleh bulan dan dia tetap dengan posisi sempurna. Diam. “Diam adalah tangisan yang paling kuat”, untuk pertama kalinya dalam seharian ini mulutnya mengeluarkan suara. Aku menunggu kalimat-kalimat berikutnya. Telah kupersiapkan sedari tadi kuping ini untuk diperkosanya. Namun sekali lagi ada yang berbeda dengan hari ini. Itu kalimat pembuka sekaligus penutup. Kalimat itu merangkum semua isi hatinya. Dari sudut pandangku saat ini, aku merasa menjadi ksatria tanpa kuda dan senjata. Pecundang lebih tepatnya. Ingin tangan ini memegang pundak Pratiwi dan bibir ini berucap “semua akan bai-baik saja, rencana Semesta selalu indah, namun kita yang melihat dari sudut pandang berbeda. Percayalah, Pratiwi, aku pernah merasakannya”
___

Telah bulat tekadku untuk keluar dari zona yang tidak terlalu nyaman dan aman. Aku sudah bicara panjang lebar kepada Erwan tentang rencanaku keluar dari kota penjara ini. Erwan mengamini niatku dan aku sarankan pula agar dia segera mencari penggantiku.
___

 Jangan kau menangis saat senja tiba
Karena air matamu akan menghalangi kilauan bintang-bintang

Aku mengenalmu bukan dari ceritamu
Tapi karena aku memperhatikanmu

Surat misterius itu tergeletak begitu saja di atas meja bar tempat Pratiwi duduk sekarang. Buruk bagi Pratiwi, karena di kedai inilah tempat pelariannya. Namun surat yang membuat dia selalu bertanya-tanya malah hadir tepat di hadapannya. Ke mana lagi dia akan berlari?. Baik bagi pengirim surat itu, karena tak lagi harus repot mengetuk pintu.

Pratiwi begitu resah, semula memang dia resah karena surat itu seakan mengejarnya. Namun keresahan itu begitu cepat beralih tempat. Kepalanya mengamati sekitar, dia mencari korbannya. Galaksi. “maaf, Galaksi ke mana? Dia tidak masuk hari ini?” tanya Pratiwi pada pemuda asing di balik meja bar. “galaksi sudah gak kerja di sini, aku yang menggantikan posisinya” jawab pemuda itu yang masih sibuk membolak-balikan buku menu. “kenalkan namaku Lingga”, Pratiwi hanya tersenyum tipis. Ada rasa kecewa pada raut mukanya.

Dan surat misterius tidak lagi datang…