Sebuah jalan besar
yang amat panjang dan aku selalu menoleh ke belakang. Ingin rasanya aku memutar
kepalaku sehingga aku tahu apa yang ada di depanku. Seakan sendi-sendi leherku
tak mau bekerja sama, kepalaku tidak dapat menuruti keinginanku. Aku tetap menoleh
ke belakang untuk beberapa saat. Aku rasakan ngilu yang amat dalam menusuk
tulang rahang dan tulang belakangku. Tubuhku sudah lelah. Dan pada akhirnya
ketika aku berhasil memaksa kepalaku untuk melihat ke depan, aku langsung
terbangun, dengan keringat yang begitu deras melumuri tubuhku.
Mimpi yang sama itu
terus menerus terulang.
Mungkin ini sudah
ke lima kalinya mimpi yang sama itu datang. Apa artinya?
Tempatkan sesuai porsinya
Adakalanya manusia merasakan
kejanggalan dalam situasi tertentu
Seakan dia pernah mengalami
kejadian ini sebelumnya
Tapi entah di mana
Sebuah kenangan tidak layak
dibuang
Tempatkan sesuai porsinya
Selembar surat tergantung di dinding dekat jendela kamarku. Bertumpuk
dengan pernak-pernik kalung koleksiku. Entah dari mana dan dari siapa surat
ini. Tanpa nama pengirim, tanggal, dan alamat. Hanya orang iseng pikirku. “Bu,
surat ini dari siapa?”, “Oh surat yang tergantung di dinding itu?, ibu tidak
tahu, tiba-tiba ada di depan pintu pagi ini, awalnya ada namamu di surat itu,
ditulis di kertas yang berbeda, namun karena mungkin perekatnya kurang erat,
jatuh saat ibu angkat”. “Sekarang di mana kertasnya?”, aku menuruni anak tangga
menuju ruang di mana ibu sedang mengajak bercanda tanamannya. “Itu, di meja
makan”. Aku bergegas menuju meja makan, dan benar saja, ada namaku di sobekan
kertas itu. Pratiwi.
___
Jalanan jakarta seperti biasanya. Tanpa orang tersenyum, tanpa sapaan
ramah, hanya bunyi klakson yang teramat ramai masuk dalam gendang telingaku,
membuatku sulit membedakan mana hinaan dan mana kata pujian. Semuanya sama,
terangkum dalam setiap detik kota metropolitan yang mau tenggelam. Begitu muram dunia ini. Kondisi sepeti inilah yang selalu aku jadikan
senjata setiap ada orang yang bertanya “kok belum nikah?”. Aku tidak ingin
membagi kesialan hidup di kota seperti ini dengan orang yang aku sayang, dan
satu lagi, aku tidak ingin melahirkan seorang anak dengan kondisi bumi yang
tidak ramah dan dengan manusia yang lupa cara tersenyum. Dunia muram, bukan
karena tak ada pendar cahaya. Banyak hati yang muram dan ingkar pada kebenaran.
“hallo bro, tumben jam segini sudah datang?”, teriak teman kerjaku yang
hanya terlihat bagian atas tubuhnya karena tertutup oleh meja bar. Aku kerja di
sebuah kedai kopi milik teman, Erwan, yang hanya seukuran ruang kerja anggota
DPR, ditambah dengan luas kamar mandi mereka. Aku mengandaikannya seperti itu.
Ejekan sekaligus pujian karena aku samakan dengan ruang kerja anggota dewan
terhormat negara. Itu karena aku tidak ingin menyakiti hati temanku dan aku
masih butuh kerja di sini. “Iya bro, mau gimana lagi, AC di kamar kos lagi
mati, itung-itung numpang AC di sini”. “Oooo gue kira karena nunggu si
pratiwi?”. “Eh iya, ke mana dia belum kelihatan batang hidungnya?”. Mulut Erwan
belum sempat terbuka saat tiba-tiba pintu kedai terbuka dan seorang perempuan
masuk dengan wajah datar. “barusan diobrolin, eh udah nongol aja lu”, Erwan
mengganti ucapan selamat datang dengan kalimat yang membuat wajah datar
berganti wajah heran. “Kopi satu tanpa gula”, tanpa basa-basi Pratiwi memesan
dan duduk di meja bar, sedetik kemudian membuka selembar kertas yang berisi
surat dari orang misterius.
Pratiwi selalu duduk di meja bar. Bukan karena dia selalu di tempat ini
sendirian, namun karena dia suka aroma kopi. Berkah baginya, musibah bagiku.
Karena dengan dia di sana, aku sering tidak fokus meracik setiap kopi pesanan.
Aroma parfumnya, mata sipitnya yang terhalang kacamata, dan satu lagi, dia
sering berbicara pada dirinya sendiri dengan nada yang dapat aku dengar.
Semua yang dibicarakan tentang kisah cintanya pada seorang pemuda kota
asalnya. Alkisah mereka sempat merajut cinta, namun jarak dan hadangan tangan
dari orang tua yang membuat mereka berpisah. Lebih parahnya lagi, pemuda idaman
Pratiwi tidak sekalipun mengirim kabar, bahkan hanya sekedar sapa. Alhasis,
Pratiwi mencari kabar dan mendapatkannya dari media sosial dan yang pada
akhirnya membuat Pratiwi jatuh pada titik terendahnya. Dia melihat foto pemuda
itu dengan seorang perempuan lain.
Aku mengetahui semua itu bukan karena aku ingin tahu, namun gelombang
suara Pratiwi yang melewati udara sampai dengan tanpa seijin masuk dalam
gendang telinga. “Siapa kamu?” Pratiwi mengawali monolognya dan aku seperti
sapi glongongan yang mau tidak mau harus menelan air yang dimasukkan dengan
paksa ke mulutku. Begitu menjengkelkan memang. Namun setelah beberapa minggu
mengalami hal yang serupa dengan cerita yang berbeda, aku seperti ibu-ibu
kompleks yang menunggu tukang sayur datang. Aku menanti ceritanya. Aku
menikmati saat-saat aku diperkosa.
“Aku Galaksi” ku jawab dengan senyum lebar dan sialnya dia tidak menoleh
barang sedetik pun. “Bagaiman bisa kamu tahu namaku, alamatku?. Dan kenapa isi
surat itu begitu membuatku emmm, entahlah”. Mataku mengamati dia dengan
khusyuk, sesang telingaku meraba-raba udara yang merambatkan suaranya. Mulutnya
terus saja merapalkan aksara, namun semakin hening. Hening. Hening. Krik krik
krik krik…
“Eh nanti malam ke mana?, gak ada rencana tahun baruan nih?” tanyaku
dengan nada hambar. Usaha yang kesekian kali akhirnya bisa menggelitik matanya
menuju mataku. “aku gak suka malam, lebih suka siang” jawabnya ketus “itu
kenapa aku selalu ingin menyendiri saat senja, aku berharap suatu saat Semesta
maklum padaku dengan menghentikan waktu saat matahari akan bertugas menyinari
bumi bagian lain”. “kenapa dengan malam?” balasku penuh keheranan. “aku tak
punya alasan untuk menyukai malam, itu kenapa aku suka matahari”.
___
Benar saja, Pratiwi hanya sendiri di malam tahun baru. Kamarnya begitu
terang dengan lampu warna-warni. Mungkin orang menganggap dia sedang merayakan
tahun baru, namun kenyataannya dia menemukan penjaranya saat malam tiba. Bukan
tanpa alasan kenapa dia tidak suka malam. Pratiwi selalu menghabiskan malam
dengan kekasihnya, mantan lebih tepatnya. Ingatannya begitu kuat saat dia
berdua di atas ranjang menyambut mentari dengan kepala dia di atas dada
pasangannya. Menghitung detak jantung sang mantan hingga fajar menjelang.
“Tiwiiii, ada surat buat kamu”, teriak ibunya dari lantai dasar, disusul
ocehan yang samar “gila nih orang, udah tau tengah malam, eh masih aja ngirim
surat”. Pratiwi meloncat dari tempat tidurnya, berlari menuruni anak tangga dan
dengan sigap membuka surat yang masih tergeletak di meja ruang tamu. “tanpa
nama pengirim”, dia berbisik pada dirinya sendiri.
Di luar langit berwarna-warni
Bukan karena kerlip bintang
Namun karena keangkuhan manusia
Merayakan pesta
Kita hidup dalam tubuh yang sepi
Dengan bedak dan parfum yang
ramai
Menghiasi bumi
Cinta yang baik memang tak pernah
berisik
Kemarin, hari ini, dan besok atau lusa sama seperti biasanya. Manusia
yang dikejar oleh mimpinya, waktu yang terlalu sombong, bahkan hanya untuk
berhenti sedetik menikmati kopi dan kretek. Pabrik-pabrik yang berlomba
memuaskan keinginan konsumen. Pelayan-pelayan yang memaksakan senyum ke
pelanggan. Manusia yang bingung mencari uang dan paham di mana kelak akan
menghabiskannya. Para pemuka agama yang gagah berani dengan tanpa dosa
menghalalkan pembunuhan. Ya, dunia sedang tidak baik-baik saja. Itu kenapa aku
ingin mati muda.
Terhitung sudah dua tahun aku kerja di kedai kopi milik Erwan. Aku bosan
dengan kota ini, bukan kedai ini. Semua terasa sama, tanpa ada sesuatu yang
berbeda di setiap harinya. Namun kali ini setelah dua tahun aku kerja di sini,
aku menemukan momen yang jarang aku temui. SI pembawa berita, Pratiwi, begitu
muram. Dia hanya diam di depan meja bar. Kopi yang sedari tadi di atas meja tak
tersentuh oleh tangan mungilnya. Pandanggannya kosong menatap sekitaran luar
jendela. “gimana malam tahun barumu?” tanyaku yang hanya dalam hati, karena aku
tahu dia sama sekali tidak tertarik sengan kata malam. “bagaimana harimu?”
sekali lagi hanya dalam hati, karena aku tahu, pertanyaan basa-basi seperti itu
tidak bakal mengundang matanya tertuju padaku. Dia hanya diam. Dan yang
membuatku semakin resah adalah dia seharian di kedai ini. Itu hal yang sangat
jarang dia lakukan. Matahari akan digusur oleh bulan dan dia tetap dengan
posisi sempurna. Diam. “Diam adalah tangisan yang paling kuat”, untuk pertama
kalinya dalam seharian ini mulutnya mengeluarkan suara. Aku menunggu
kalimat-kalimat berikutnya. Telah kupersiapkan sedari tadi kuping ini untuk
diperkosanya. Namun sekali lagi ada yang berbeda dengan hari ini. Itu kalimat
pembuka sekaligus penutup. Kalimat itu merangkum semua isi hatinya. Dari sudut
pandangku saat ini, aku merasa menjadi ksatria tanpa kuda dan senjata.
Pecundang lebih tepatnya. Ingin tangan ini memegang pundak Pratiwi dan bibir
ini berucap “semua akan bai-baik saja, rencana Semesta selalu indah, namun kita
yang melihat dari sudut pandang berbeda. Percayalah, Pratiwi, aku pernah
merasakannya”
___
Telah bulat tekadku untuk keluar dari zona yang tidak terlalu nyaman dan
aman. Aku sudah bicara panjang lebar kepada Erwan tentang rencanaku keluar dari
kota penjara ini. Erwan mengamini niatku dan aku sarankan pula agar dia segera
mencari penggantiku.
___
Jangan kau menangis saat senja tiba
Karena air matamu akan menghalangi
kilauan bintang-bintang
Aku mengenalmu bukan dari
ceritamu
Tapi karena aku memperhatikanmu
Surat misterius itu tergeletak begitu saja di atas meja bar tempat
Pratiwi duduk sekarang. Buruk bagi Pratiwi, karena di kedai inilah tempat
pelariannya. Namun surat yang membuat dia selalu bertanya-tanya malah hadir
tepat di hadapannya. Ke mana lagi dia akan berlari?. Baik bagi pengirim surat
itu, karena tak lagi harus repot mengetuk pintu.
Pratiwi begitu resah, semula memang dia resah karena surat itu seakan
mengejarnya. Namun keresahan itu begitu cepat beralih tempat. Kepalanya mengamati
sekitar, dia mencari korbannya. Galaksi. “maaf, Galaksi ke mana? Dia tidak
masuk hari ini?” tanya Pratiwi pada pemuda asing di balik meja bar. “galaksi
sudah gak kerja di sini, aku yang menggantikan posisinya” jawab pemuda itu yang
masih sibuk membolak-balikan buku menu. “kenalkan namaku Lingga”, Pratiwi hanya
tersenyum tipis. Ada rasa kecewa pada raut mukanya.
Dan surat misterius tidak lagi datang…