Minggu, 06 Desember 2015

Damai Yang Aku Cari Tidak Lebih Jauh Dari Urat Leherku



Aku menyesatkan diriku sendiri ke sebuah desa yang aku sendiri tidak tahu namanya. Semeru, Gunung Semeru itulah tujuanku awal, namun kenapa semakin dekat tujuan awalku, aku merasa semakin tidak menarik Gunung suci tersebut. Sampah plastik, makanan ciptaan laboratorium pabrik, orang-orang yang hanya beberapa kali mendaki gunung namun cukup lancar untuk menceritakan semua hal tentang gunung, bullshit, pikirku. Tidak sepantasnya mereka sok tahu tentang gunung meskipun itu terlontar dari tenggorokan orang yang sudah beratus kali naik gunung. Tidak ada yang tahu rahasia alam kecuali alam itu sendiri.

Aku berdiri berdempetan dengan banyak orang sekaligus dalam truk. Seketika itu juga pikiran nakalku melesat begitu saja. Tidak hanya untuk hewan, manusia yang akan ke alam bebas butuh rehabilitasi lebih dulu. Seekor serigala di alam bebas yang diburu untuk dijadikan hewan peliharaan, yang setiap hari diberi makanan siap saji, tempat tidur dari beludru. Seperti halnya nasib serigala, banyak manusia lupa bahwa mereka sejatinya adalah mahkluk bebas.

Sendiri bukanlah hal yang asing bagiku, seperti sekarang ini aku dikelilingi oleh pepohonan dan lahan pertanian penduduk lokal yang maha luas. Ku putuskan untuk berhenti di tengah jalan dan sesegera melompat dari bak truk. Tidak ada tujuan pasti memang, tapi itu yang menarik dari hidup. Kita tak sedikit pun tahu apa yang terjadi di depan sana, kecuali aku adalah peramal dengan bola kristal, itu pun kalau mereka benar-benar nyata.

Selama perjalan di sebuah desa ini, aku melihat bahwa apa yang diobrolkan orang-orang di kota sana tentang kemajuan tekhnologi sama sekali tidak berlaku di sini. Di mana traktor? Di mana alat penyebar pestisida dengan sekali tekan tombol?

Sebuah bukit telah aku daki kali ini, istirahat untuk beberapa menit mungkin cukup baik bagi tubuh seorang warga kota. Sesekali melihat ke arah langit, mungkin ada baiknya juga tekhnologi yang sedemikian rupa tidak masuk ke desa ini. Aku melihat seorang ibu yang berjalan begitu jauh dari rumah ke lahan pertanian, namun tak terdengar sedikit pun napas yang berat keluar dari hidungnya, apalagi tentang keluh kesah. Bayangkan jika tekhnologi yang bersahabat dengan manusia namun tidak dengan alam itu masuk. Aku yakin ibu dengan umur setua itu tidak mampu lagi berjalan jauh. Baik-baik saja itu memang dapat membunuh.

Mataku tidak henti-hentinya untuk meminta leherku bergerak ke kanan dan ke kiri. Apa yang terjadi sepuluh tahun lagi? Semoga tetap sayur dan buah yang mereka tanam, bukan beton. Damai memang dalam situsi seperti ini, namun tidak bagi petani yang sempat aku temui sepanjang perjalan tadi, di mana Dewi Sri yang diagungkan dalam cerita Jawa saat para petani harus panen lebih awal karena serangan hama, atau karena cuaca tak lagi bisa diprediksi.

Permasalahan orang kota bagaimana mereka besok dapat makan, permasalahan orang desa bagaiaman orang kota besok dapat makan. Lucu memang, saat para petani dengan giat bekerja untuk kebutuhan di kota, kita orang kota tidak sedetik pun memikirkan mereka. Kita terlalu sibuk dengan deadline harian, macet, takut terlambat, banjir, dan hal sampah lainnya.

Hmmmm….

             Semakin lama di sini, semakin muak batinku dengan kemajuan, diperparah lagi karena aku secara tidak langsung menikmati kemajuan peradaban. Damai yang aku impikan tidak kutemui di sini. 

Damai sejati hanya ada di pemakaman.

1 komentar: