Sabtu, 22 Maret 2014

Lingga Yoni


Lingga Yoni

Matahari menampakkan keperkasaan kali ini, sedikit di atas dari posisi dahi. Disebuah bukit yang sudah tidak perawan. Banyak gundukan beton disana dan disini. Tidak banyak manusia yang merasakan jeritan alam, tertutup oleh kemeriahan gelak tawa para pengunjung, bukit yang sudah tidak perawan. Sejatinya banyak orang yang sadar bahwa jika semua hilang atau rusak, manusia tidak dapat memakan uang. Mari menyelam.

Sore itu, dua orang anak manusia tampak serius membicarakan hal yang tidak serius. Lingga nama lelaki muda itu, berbadan kurus dengan kulit sawo matang, tampak jelas dari setiap kerut wajahnya saat bicara atau tersenyum atau berpikir, bahwa dia sedang ingin menjerit dan berkata ‘aku sedang tidak baik-baik saja’. Siwalingga nama lengkapnya. Sedang perempuan di samping sedikit di belakang posisi duduk Lingga bernama Sri. Bukan rahasia kalau dia adalah perempuan yang selalu membawa energi positif, semua yang diceritakannya tentang semangat, cinta, perjuangan, cita-cita, apapun. Pendeknya dia bisa dibilang motifator.

Sri menangkap jelas isyarat dari kerutan Lingga, kerutan yang mewakili isi hati. Kerutan yang berkata ‘aku tidak baik-baik saja’. Mereka terdiam memandangi raja siang yang menuju pulang. Sri tampak tak tahan dengan semua omong kosong tentang diam adalah emas.

Sri: apa yang kamu pikirkan?

Lingga: mmmm…

Sri: jika yang keluar dari bibir keringmu adalah ucapan ‘bukan apa-apa’ atau ‘tidak apa-apa’, aku pergi sekarang

Lingga memulai obrolan sambil mengerutkan kening menjadikan kerutan yang semula samar semakin jelas terlihat. Dan dengan menyipitkan mata, entah karena silau cahaya atau karena perkataan yang akan dilontarkan cukup serius untuk didengar.

Lingga: kamu pernah jatuh cinta?

Sri: jika cinta yang kamu maksud adalah sebuah komitmen tentang dua orang pasangan, aku belum merasakan

Lingga: apa kamu juga tidak pernah merasakan sakit hati?

Sri: sekarang

Lingga: apa? maksudku apanya yang sekarang?

Sri: aku merasakan sakit hati sekarang, saat tanah tidak lagi menerima air dari langit dengan leluasa, saat tanah tidak lagi bisa menumbuhkan rumput-rumput liar, rumput yang rindu oleh sentuhan tangan polos seorang bocah dan rindu injakan kaki telanjang. Lihat itu!

Sri menunjuk di sekeliling bukit dengan wajah gemas dan gigi yang saling bertemu

Sri: beton itu bukan disana tempatnya

Lingga: ya, mungkin juga tidak dimana pun

Sri: biar kutebak, apa ini semua tentang Yoni,perempuan yang selalu hadir disetiap tentangmu?

Lingga hanya medehem dengan tangan yang dari tadi tidak bisa berhenti untuk mencabuti rumput di sekitaran dia duduk. Sedang Sri maju untuk duduk tepat di sebelah Lingga. Dua anak manusia sekarang duduk bersila dengan wajah menatap Surya, keduanya tidak saling bertatap muka dari awal.

Sri: apa yang membuat seorang Lingga menjadi seperti seonggok daging tidak berguna?

Lingga: aku tidak tahu persis, atau lebih tepatnya bingung mengutarakannya

Sri: apa kamu bahagia dengan Yoni? Apa hubungan kalian baik-baik saja? Atau malah sudah karam di tengah samudera sebelum perahu mencapai dermaga?

Lingga: kita, aku dan Yoni masih berusaha mendayung perahu itu

Sri: apa kalian masih punya mimpi yang sama?

Pertanyaan itu membuat Lingga menahan nafas sejenak lalu menghembuskannya dengan kuat

Lingga: aku menemukan semangatku dalam dirinya, kamu mungkin tidak paham.Terserah. Mungkin kamu menilai aku berlebihan atau dalam hatimu berkata ‘kau sedang mabuk cinta dan tidak sadar tentang semua yang kamu bicarakan’, terserah, tapi ijinkan aku bercerita tentang Yoni

Lingga merubah posisi duduknya, diluruskannya kaki yang semula bersila, tangannya kini menjaga tubuhnya agar tidak rubuh ketanah.

Lingga: aku melihat sesosok anak manusia yang seolah tafakur saat dia meringkuk menahan dingin dimalam penuh bintang disebuah bukit. Ya, dia mencoba tidur diudara yang tidak sehangat kamarnya. Dan apa yang kurasakan? Aku melihatnya seperti gadis kecil yang membutuh hangat peluk dari ibunya dan dongeng pengantar tidur dari seorang kepala keluarga. Namun berbeda 180 derajat saat dia terbangun dipagi hari, atau saat aku bertemu disaat dia masih terjaga. Aku menemukan kekuatan yang nyata di bumi manusia ini. Matanya, senyumnya, alisnya, tawanya, semuanya memancarkan semangat yang hening. Kamu paham kan Sri, tentang semangat hening?

Sri: ya, keheningan adalah tingkat yang paling tinggi dalam jiwa manusia, teruskan

Lingga: apa kamu merasakan apa yang orang lain rasakan? maksudku jika dua orang sudah menjadi pasangan, apa yang dirasakan salah satu pasangan tersebut adalah refleksi yang juga dirasakan oleh pasangannya. Aku merasakannya Sri, sangat nyata di depan hidungku

Sri: apa kalian bahagia?

Untuk pertama kalinya diobrolan sore itu Lingga menatap wajah Sri.

Lingga: aku iya, Yoni tidak

Sri: tapi aku melihat kalian berdua selalu senyum bahkan tertawa bersama

Lingga: apa para koruptor itu benar-benar sakit saat akan menjalani sidang pertamanya?

Sri: tapi katamu tadi jika salah satu pasangan merasakan bahagia maka pasanggannya turut merasakannya, sebuah refleksi hati

Lingga: aku lebih merasakan ketidak-bahagiaannya lebih nyata daripada Yoni merasakan kebahagiaanku

Sri: lantas mengapa kamu tidak berusaha atau mungkin sedikit memaksa agar bahagiamu juga tertular dalam hati Yoni?

Lingga: cinta itu bukan perlombaan, yang mana aku berjuang mendapatkan untuk diriku sendiri dengan mengambilnya dari orang lain

Sri: aku tahu persis bahwa cinta tidak mengenal kata paksa, apa kamu akan melepasnya? Apa kamu akan marah pada dirimu sendiri atau mungkin marah kepada Yoni?

Lingga: ya

Sri: apa yang kamu maksud dengan “ya”? kamu melepaskannya? melepaskan perempuan yang menjadikan Lingga semangat

Lingga: marah bukan jalan keluar dan diam bukan pula emas. Aku tidak akan marah pada diriku atau Yoni. Tidak mencintai bukan kesalahan

Cahaya matahari sekarang menyentuh semua bagian wajah dua orang anak manusia. Terasa hangat dengan perpaduan warna yang indah, lahir dari kuas Sang Semesta. Gelak tawa terdengar yang keluar dari tenggorokan orang yang itu-itu saja. Sekelompok pemuda, segerombolan manusia  pulang kerja, dan juga terlihat keluarga kecil yang bahagia dengan anak yang paling kecil digendong oleh bapaknya, sedang anak berumur sekitar 9 tahun berlarian mengejar ibunya.

Cahaya senja semakin meredup, mungkin 20 menit kemudian Sang Mata Dewa melanjutkan tugasnya untuk menerangi di bumi bagian lain.

Lingga: sudah lewat jamnya

Sri: hah?

Lingga menyodorkan selinting ganja yang sedari tadi ada dalam bungkus rokok yang tidak ada rokonya, satu linting lagi masih di dalam bungkus rokok itu. Sri beranjak dari duduknya lalu menuju warung tempat berkumpul para pemuda yang dari tadi tertawa, pemuda yang itu-itu saja. Kembali dengan segelas teh hangat. Kembali Sri duduk bersila persis disamping Lingga dan dengan atau tanpa sengaja terdengar musik mengalun merdu dari genggaman Sri, Handphone Sri memutar lagu Hopipolla milik Sigur Ros.

Sri: hai, bicaralah

Lingga: diam, aku sedang merasakan

Lingga menekuk setengah bagian kaki panjangnya, didekapnya lutut itu dengan tangan sambil arah pandangan persis menuju arah cahaya senja berasal.

Lingga: apa kamu tidak merasakan kehadirannya?

Sri: siapa?

Lingga: lihat, siapa yang datang

Sri: siapa?

Lingga tidak dapat melihat jelas wajah perempuan yang datang, sedang Sri masih bingung dan mulai tersadar, lantas mencoba masuk dalam imaji Lingga. Tampak bayangan itu semakin mendekat, perempuan yang datang menghampiri dari arah cahaya senja berasal yang menjadikannya sulit dikenali wajahnya dari posisi seperti itu karena silau. Perempuan berkerudung dengan senyum dengan pipi penuh dengan alis subur dengan semua kelebihannhya. Semakin mendekat semakin jelas wajah perempuan itu. Dia datang tanpa kata, hanya senyum yang mengembang, giginya yang putih muncul hanya setengah bagian. Dia membungkuk, perempuan itu meraih gelas teh hangat yang digenggam Lingga, meraih lalu menaruhnya. Dia, sekarang tampak jelas, dengan hidung mancung bertaburan keringat seperti biji wijen. Diraihnya tangan Lingga, ditarik, diajak berdiri. Berjalanlah mereka berdua, sepasang kekasih yang berusaha menyembunyikan ragu. Sri hanya diam, matanya yang mengawasi mereka berjalan menuju senja. Hopipolla sudah habis berbarengan dengan hilangnya bayangan kedua anak manusia.

Senja sudah menghilang. Suara adzan bersaut-sautan. Dingin sudah mulai menghinggapi tubuh. Sri masih ditempatnya, masih duduk bersila bersebelahan dengan Lingga yang masih duduk termenung dengan pandangan hening.


Sri berkata kepada Semesta, ‘ini obrolan tidak serius tentang hal yang serius’…