Aku ingin membangun menara yang teramat tinggi. Agar aku
bisa merasakan hujan berada di bawah telapak kakiku. Dan aku jugan ingin
mencuri teropong bintang milik Nasa. Agar aku bias melihat orang-orang di bawah
sana dengan cermat. Bagaimana mereka mengekspresikan hujan dengan beraneka
cara. Mungkin dengan begitu aku lebih paham isi hati dan kepala mereka.
Terlepas dari puisi dan caci maki.
Sering orang berpuisi saat hujan mengguyur bumi. Puisi
tentang kenangan, harapan, kerinduan menggebu, keputusasaan dan kekecewaaan.
Sering pula ungkapan caci maki dari penduduk bumi.
Ah hujan memang seperti Kota Yogya. Kerinduan dan kemurkaan
tercampur di dalamnya.
Atau seperti lambaian tangan yang memiliki dwi makna,
selamat datang dan selamat jalan.
Aku sedang mengintip dengan satu mataku, lewat teropong
tentunya. Aku melihat ada anak manusia yang melamun begitu serius, meskipun di
seberang mejanya ada seorang yang juga begitu serius mengajaknya bicara. Aku
melihat seorang bapak penjual bakso yang begitu sumringah, karena di dalam
rombong dagangannya menjanjikan kehangatan. Aku juga melihat para remaja putra
dan putri mengkerutkan dahi, teramat sayang memang dandanan begitu rapi dan
wangi harus basah kuyup tersapu air dari bapak bumi
.
Hei! di mana bocah-bocah berada? Oh sial! Mereka hanya bias
melihat hujan di balik jendela rumah.
Oh begitu ingin aku bersama Annelies sekarang. Tokoh ciptaan
Pram itu begitu indah dalam imajinasiku. Seketika itu pula Annelies sekarang di
sampingku. Dia tersenyum melihat tingkahku yang seolah paham betul isi manusia,
lalu dia berbisik padaku, “Hidup sungguh
sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya”. Cukup Annelies,
biarkan aku sibuk dengan kegiatanku. Sekarang kamu cukup duduk dan diam.
Lalu datang Hans Thomas, dia tersenyum menyeringgai dan
bertanya, lebih ke memohon tepatnya. Apa kamu tidak ingin membangun menara
lebih tinggi lagi? Konon katanya Tuhan ada jauh di atas sana? Aku melihatnya,
melihat matanya, “kalaupun ada perlombaan petak umpet, Tuhanlah juarannya”.
Tak lama berselang datang sepasang Raja dan Ratu yang sempat
menggemparkan tanah Jawa, Ken Arok dan Kendedes. Mereka hanya melihat lalu
tersenyum lalu duduk mematung. “Hanya berdua?” tanyaku, tanpa menjawab dengan
kata dia menoleh ke samping, tampak Raja Majapahi, Hayam Wuruk. Oh begitu
bahagianya aku, kedatangan seorang tamu yang pernah membuat kerajaan tersohor
sampai manca negara. Sejenak aku lupa dengan teropongku, lalu dengan
kelimpungan mencari apa saja yang patut aku suguhkan kepada dia. Belum usai
kebingunganku, dia berdiri sambil menepuk pundakku, “aku tak sehebat apa yang
orang baca” lalu dia mendekatkan mukanya ke mukaku, “ingat, sejarah selalu
ditulis oleh para pemenang”.
Aku tak sabar menunggu siapa lagi yang akan datang. Lama,
hingga aku ingat kembali dengan teropongku. Sungguh aku terkejut saat mengintip
dari lubang kecil itu. Aku melihat diriku sendiri yang sedang duduk di emperan
toko sambil melamun sambil menghisap rokok sambil menunggu hujan yang tak kunjung
reda. Oh kenapa aku bisa melihat diriku sendiri, dan begitu muramnya aku di
sana. Sial!. Lalu datang sosok begitu
kecil yang teramat kecil yang melompat-lompat mengelilingi aku yang di sana. Untuk
beberapa kalinya aku kembali melongo karena heran. Bukankah itu aku yang lain
juga?!. Kenapa ada tiga aku dalam waktu sekaligus? Oh apakah ini pencerahan
yang pernah di rasakan Bima di dasar laut saat bertemu Dewa Ruci? Tapi kenapa
ada tiga aku? Sedangkan waktu itu hanya ada dua Bima? Sial!, pikirku.
Mungkin Socrates ada benarnya, jika ingin mengetahui rahasia
semesta, maka mulailah dari rahasia diri sendiri.
Dan sekarang hujan sudah reda. Jalanan kembali ramai dengan
robot-robot bernyawa.
Aku jatuh terjun bebas. Pondasi imajinasiku tak tersisa
lagi. Oh realita, kenapa kamu begitu menyiksa.
Halaman Rumah Kosong
Tetangga Cygnus
2016