Menjadi anak kecil tidak semudah melinting tembakau. Menjadi
anak kecil harus berani bermimpi, mempunyai tingkat keingin-tahuan yang tinggi,
dan tidak menyimpan dendam. Itulah yang beberapa bulan ini aku pelajari dari
kolektif Nandvr Dvlvr. Tidak mudah memang untuk menjadi anak kecil dengan
kondisi bumi seperti saat ini. Bagaimana bisa bermimpi tinggi jika yang
terpikir hanya menunggu gaji, bagaimana bisa gila akan pengetahuan baru kalau
dalam diri sudah merasa tahu segalanya, dan bagaimana bisa berdamai dengan diri
sendiri jika lebih suka mencari perbedaan ketimbang persamaan.
Anak kecil yang aku temui di taman kota selalu menghadirkan
keceriaan, bukan karena dia datang bersama ibunya yang masih muda, bukan.
Tapi karena dalam setiap anak kecil yang datang memiliki imajinasi mereka
masing-masing, jadi jangan salahkan mereka saat mereka menggambar sebuah pohon
dengan warna hitam, atau menggambar sebuah rumah yang berada di dasar laut. Di
setiap mereka mempunyai mimpi akan masa depan dan jangan sekali-kali mencoba
untuk menyamakan anak satu dengan anak lainnya, karena mereka terlahir dengan
keajaibannya masing-masing.
Dalam benak sebagian orang mimpiku mungkin terlampau tinggi.
Tak mengapa, karena memang aku sendiri suka tinggi. Mimpi untuk membangun sebuah
sekolah gratis yang di dalamnya tidak ada istilah anak bodoh yang membuat diri
mereka seakan berlumuran dosa karena tidak naik kelas. Karena memang tidak ada
anak bodoh, semua anak pintar, semua anak punya keinginan dan kemampuan di
bidang tertentu, dan sekolah ini nanti akan menggandeng anak tersebut menuju
jalan keinginannya. Sekolah ini nanti bukan sekolah yang membebani anak dengan
PR, tidak menyuruh anak untuk tunduk pada pengajar, tidak menyuruh anak harus
hafal rumus dan tanggal-tanggal ultah pacar/mantan mereka penting dalam
buku sejarah. Sekolah ini mengajarkan anak untuk berdiskusi, menjabarkan ide
mereka kemudian bergerak bersama. Sekolah yang tidak ada pengajar paten, karena
di setiap orang yang terlibat adalah guru sekaligus murid.
“Lalu bagaimana dengan
ijasah mereka? apa kantor-kantor atau perusahaan dapat menerima mereka?”
Memang sulit jika melihat situasi seperti hari ini. Seseorang
dipandang sukses jika mendapat gelar sarjana atau mempunyai uang ratusan juta.
Para pria akan merasa berwibawa dan ksatria saat mengatakan pekerjaannya adalah
PNS kepada calon mertua. Begitupun para wanita, mereka akan merasa seperti
Cinta yang diperankan Dian Sastro saat bekerja di perusahaan ternama. Namun
tidak semua seperti bayanganku di atas, hanya segelintir saja yang seperti itu.
Ingat! Hanya segelintir. Lantas bagaimana dengan jawaban pertanyaaan di atas.
Ijasah memang penting bagi mereka yang ingin melamar ke perusahaan atau
kantor-kantor, namun jika lulusan sekolah gratis ini mempunyai bakat tertentu,
bukankah perusahaan itu yang akan mencari mereka, atau malah mereka yang akan
membangun perusahaan sendiri, berdikari. Aku tidak menyalakan atau
mengkerdilkan orang-orang yang bekerja dalam naungan perusahaan, karena aku
sendiri masih bekerja ikut orang. Toh,
yang terpenting di sini bagaimana dia dapat mengendalikan dirinya sendiri,
menghargai dirinya sendiri.
Dengan adanya sekolah yang tidak ada satupun muridnya
bergelar murid bodoh, maka akan menjauhkan anak dari ajang bully. Anak akan saling menghargai keistimewaan anak lainnya.
Karena seperti yang aku tulis di atas, bahwa setiap anak terlahir dengan
keistimewaan masing-masing. Maka dari itu, dengan sangat bangga aku mengenalkan
ide sekolah ini pada kalian yang membaca tulisan ini. Terserah kalian mau
memaki aku karena mimpiku yang terlalu tinggi. Karena aku ingin selalu mengajak
bermain anak kecil di sekitaranku dan juga anak kecil dalam diriku, maka dari
itu mimpiku selalu tinggi, keingin-tahuanku selalu besar, dan aku belajar untuk
tidak gampang dendam.
Karena dendam tak ubahnya seperti bom waktu, yang pada saatnya
nanti akan menghancurkan segalanya, termasuk diri kita.