Sabtu, 28 Maret 2015

Menimang Anak Kecil Yang Sedang Tinggi

Menjadi anak kecil tidak semudah melinting tembakau. Menjadi anak kecil harus berani bermimpi, mempunyai tingkat keingin-tahuan yang tinggi, dan tidak menyimpan dendam. Itulah yang beberapa bulan ini aku pelajari dari kolektif Nandvr Dvlvr. Tidak mudah memang untuk menjadi anak kecil dengan kondisi bumi seperti saat ini. Bagaimana bisa bermimpi tinggi jika yang terpikir hanya menunggu gaji, bagaimana bisa gila akan pengetahuan baru kalau dalam diri sudah merasa tahu segalanya, dan bagaimana bisa berdamai dengan diri sendiri jika lebih suka mencari perbedaan ketimbang persamaan.

Anak kecil yang aku temui di taman kota selalu menghadirkan keceriaan, bukan karena dia datang bersama ibunya yang masih muda, bukan. Tapi karena dalam setiap anak kecil yang datang memiliki imajinasi mereka masing-masing, jadi jangan salahkan mereka saat mereka menggambar sebuah pohon dengan warna hitam, atau menggambar sebuah rumah yang berada di dasar laut. Di setiap mereka mempunyai mimpi akan masa depan dan jangan sekali-kali mencoba untuk menyamakan anak satu dengan anak lainnya, karena mereka terlahir dengan keajaibannya masing-masing.

Dalam benak sebagian orang mimpiku mungkin terlampau tinggi. Tak mengapa, karena memang aku sendiri suka tinggi. Mimpi untuk membangun sebuah sekolah gratis yang di dalamnya tidak ada istilah anak bodoh yang membuat diri mereka seakan berlumuran dosa karena tidak naik kelas. Karena memang tidak ada anak bodoh, semua anak pintar, semua anak punya keinginan dan kemampuan di bidang tertentu, dan sekolah ini nanti akan menggandeng anak tersebut menuju jalan keinginannya. Sekolah ini nanti bukan sekolah yang membebani anak dengan PR, tidak menyuruh anak untuk tunduk pada pengajar, tidak menyuruh anak harus hafal rumus dan tanggal-tanggal ultah pacar/mantan mereka penting dalam buku sejarah. Sekolah ini mengajarkan anak untuk berdiskusi, menjabarkan ide mereka kemudian bergerak bersama. Sekolah yang tidak ada pengajar paten, karena di setiap orang yang terlibat adalah guru sekaligus murid.

“Lalu bagaimana dengan ijasah mereka? apa kantor-kantor atau perusahaan dapat menerima mereka?”

Memang sulit jika melihat situasi seperti hari ini. Seseorang dipandang sukses jika mendapat gelar sarjana atau mempunyai uang ratusan juta. Para pria akan merasa berwibawa dan ksatria saat mengatakan pekerjaannya adalah PNS kepada calon mertua. Begitupun para wanita, mereka akan merasa seperti Cinta yang diperankan Dian Sastro saat bekerja di perusahaan ternama. Namun tidak semua seperti bayanganku di atas, hanya segelintir saja yang seperti itu. Ingat! Hanya segelintir. Lantas bagaimana dengan jawaban pertanyaaan di atas. Ijasah memang penting bagi mereka yang ingin melamar ke perusahaan atau kantor-kantor, namun jika lulusan sekolah gratis ini mempunyai bakat tertentu, bukankah perusahaan itu yang akan mencari mereka, atau malah mereka yang akan membangun perusahaan sendiri, berdikari. Aku tidak menyalakan atau mengkerdilkan orang-orang yang bekerja dalam naungan perusahaan, karena aku sendiri masih bekerja ikut orang. Toh, yang terpenting di sini bagaimana dia dapat mengendalikan dirinya sendiri, menghargai dirinya sendiri.

Dengan adanya sekolah yang tidak ada satupun muridnya bergelar murid bodoh, maka akan menjauhkan anak dari ajang bully. Anak akan saling menghargai keistimewaan anak lainnya. Karena seperti yang aku tulis di atas, bahwa setiap anak terlahir dengan keistimewaan masing-masing. Maka dari itu, dengan sangat bangga aku mengenalkan ide sekolah ini pada kalian yang membaca tulisan ini. Terserah kalian mau memaki aku karena mimpiku yang terlalu tinggi. Karena aku ingin selalu mengajak bermain anak kecil di sekitaranku dan juga anak kecil dalam diriku, maka dari itu mimpiku selalu tinggi, keingin-tahuanku selalu besar, dan aku belajar untuk tidak gampang dendam.


Karena dendam tak ubahnya seperti bom waktu, yang pada saatnya nanti akan menghancurkan segalanya, termasuk diri kita.