Rabu, 30 Juli 2014

420

4:20

Namaku Marry, begitu orang orang biasa memanggilku. Namaku sendiri… Untuk saat ini tak perlu aku sebutkan. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku, aku dengar dari teman dekatku, sebagian mereka memberiku gelar setan, sebagian lagi mengira bahwa aku adalah bidadari surga yang mengejewantah ke bumi. Tapi tidak dengan dua orang bersaudara yang kukenal. Mereka tidak dengan sembrono menilaiku, mereka selalu ingin tahu kesejatianku.

Mereka dua bersaudara yang sayangnya tidak saling tegur sapa semenjak mulai mengenal gambar, cerita, dan film dewasa yang kemudian memuntahkan segala gairah yang berujung onani. Ketika menginjak kelas 3 Sekolah Lanjut Tingkat Pertama, umur mereka 15 tahun. Masalah sepele yang menurut anak seumuran mereka masalah seperti itu melebihi masalah korupsi. Bolos sekolah.

Nakula dan Sadewa namanya. Nakula yang bolos sekolah dilaporkan oleh Sadewa kepada ibunya. Jadilah perang Baratayudha antar keduanya, sampai sekarang ketika usia mereka sudah menginjak angka 25. Tapi dengan atau tidak sengaja, mereka memanggilku dengan nama yang sama. Senja.

Nakula dengan perawakan tinggi dengan badan kurus dan kulit sawo matang, rambut yang dibiarkan panjang yang selintas mirip dengan rambut sang dewa reggae, Bob Marley. Sejak TK satu sekolah dengan saudaranya, Nakula. Namun saat menginjak masa kuliah, mereka berpisah, Nakula memilih jurusan seni rupa. Tak heran, mulai dari kecil bakat melukisnya sudah terlihat jelas. Buku catatan yang seharusnya penuh dengan tulisan tentang mata pelajaran disulapnya menjadi galeri seninya sendiri, penuh gambar lukisan, corat coret disana-sini, namun penuh keindahan.

Beda Nakula, beda Sadewa. Perawakan yang tidak jauh dari Nakula, namun Sadewa sedikit rapi. Kuliah mengambil jurusan ilmu matematika, yang entah mengapa dia memilih jurusan itu, yang lebih konyol lagi, mengapa dia bisa masuk. Karena jika dilihat dari masa kanak-kanak, dia suka dengan alat musik, mulai dari gitar, drum, biola, sampai saxophone.

 “Matematika adalah musik dengan angka,” katanya.

Aku senja, begitu kata mereka. Aku mengenal mereka semenjak mereka duduk di bangku kelas 2 SMA. Entah dari mana aku mulai tersenyum, mengenal, menyapa, sampai bersentuhan kulit. Itu tidak penting. Yang terpenting ialah, bagaimana mereka menilaiku, menyapaku, dan memperlakukan aku sebagai kekasih. Ya, aku Senja, kekasih mereka, dua bersaudara yang tak saling sapa semenjak umur 15 tahun.

Dengan lihai mereka menyembunyikan hubungan istimewa denganku, tidak pernah mengumbar kemesraan di depan umum. Apalah arti itu semua? Bagiku, cara pandang mereka yang berbeda dengan kebanyaak orang itu sudah lebih dari cukup. Toh, kemesraan yang diumbar-umbar akan tidak ada istimewanya jika saat ada momen berdua, pikirku.

Yang aku ingin, kemesraan bisa dinikmati saat berdua, hanya berdua, tanpa perlu pengakuan banyak orang. Begitulah mereka berdua, saudara kembar yang tak saling sapa. Tapi tidak saat hari ulang tahun mereka yang ke-25. Sepeti tahun tahun sebelumnya, perayaan yang tanpa pesta, tanpa keramaian. Mereka punya cara sendiri untuk bersyukur. Hanya saat ulang tahun yang ke-17, ibu bapaknya membuat pesta, teman-teman diundang ke rumah, itu pun tanpa sepengetahuan Nakula dan Sadewa.

Pesta yang ini pengecualian. Seperti hari hari sebelumnya, mereka membuat janji denganku tanpa keduanya tahu aku adalah kekasih mereka berdua.

“Hari ini hari istimewa bagiku,” begitu kata mereka.

Aku datang ke rumahnya, dengan dandanan biasa saja, seperti yang mereka lihat di hari-hari sebelumnya, sederhana. Nakula dan Sadewa menyambut dengan senyum yang hening, yang kutahu, itu penuh akan makna, dan yang perlu kalian tahu, aku di tempat dan waktu yang sama bersama dengan mereka tanpa mereka tahu bahwa aku adalah kekasih mereka berdua.

Entah dewa mana yang sedang memberkahi kami bertiga, atau malah ada setan lewat yang membuat kami bertiga sama-sama tahu, bahwa kami berhubungan satu sama lain sejak delapan tahun yang lalu. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar dalam hal berhubungan. Sempat ada canggung di antara mereka berdua, bukan aku, karena aku tahu mereka adalah saudara kembar sejak dulu.

“Jadi selama ini kamu mengenal Senja?” suara Nakula memecah keheningan.

“sejak kapan? Seberapa sering kamu bertemu dengannya?” Nakula memberondong pertanyaan ke Sadewa.

Hari ini adalah hari pertama sejak 10 tahun lalu mereka bertegur sapa.

“Aku sama sepertimu,” jawab Sadewa penuh arti.

“Hai Senja,” sapa mereka kepadaku bersamaan, yang seketika itu membuat seisi ruangan penuh tawa.

“Lalu, sekarang apa yang kita harus lakukan?” tanya Sadewa dengan sisa-sisa tawanya.

“Kamu, eh, kita. Ya, kita tahu apa yang harus kita lakukan,” balas Nakula.

Dengan obrolan hangat mereka menjamah tubuhku penuh kelembutan.

“Oh ya, kenapa kau menemainya Senja? Sama sepertiku menamainya?” Tanya Nakula.

“Pagi itu tentang semangat, senja tentang perenungan,” jawab Sadewa cepat, seperti dia sudah menyiapkan jawaban itu delapan tahun lalu.

“Banyak orang kelebihan semangat, tapi sangat kurang perenungan,” sambung Sadewa.

Tangan-tangan mereka terampil, mereka sangat hafal lekak-lekuk tubuhku. Bersambung cerita, tanya dan jawab, hanya dengan sesekali melihatku. Jam mulai mendekati waktu biasa aku dan Nakula atau aku dan Sadewa bersenggama. Mereka tidak bicara, angin seakan mati. Sunyi.

“Sudah waktunya!!!” teriak Nakula menyeringai.

“Siapa yang duluan?” tanya Sadewa.

“Ini penghormatan, kamu duluan, dik,” Nakula menjawab dengan menyodorkanku ke tangan Sadewa.

Ya, Sadewa memulai persenggamaan ini, di jam seperti biasanya, seperti hari hari kemarin bersenggama, jam 4:20 sore. Senja.

“Selamat ulang tahun, kak” kata Sadewa kepada Nakula yang sudah siap menikmati tubuhku.

Di menit menit berikutnya, suasana semakin mencair, tubuhku dinikmati dua bersaudara kembar yang menggelar perang Baratayudha untuk mereka sendiri selama 10 tahun. Tapi hari ini, perang itu berakhir hanya dengan satu nama dan jam yang sama pula saat mereka bersenggama. Ganja dan 4:20.

            
Ya, namaku adalah Ganja.