Senin, 01 Februari 2016

Pulang

Galaksi belum juga bisa mengingat jalan yang telah dilewatinya tadi. Dia kelimpungan, menoleh ke sana dan ke mari, hanya tampak barisan pepohonan yang tidak rapi, dan beberapa kali hewan-hewan yang melompat, ada juga yang setia mengawasinya.

Dia lelah, ditaruhnya tas ransel berukuran sepaha orang dewasa. Tidak terlalu besar untuk orang yang berniat berlama-lama di alam bebas. Dia tersesat.

Tak lama setelah Galaksi merebahkan semua bagian tubuhnya ke tanah, suara pijakan kaki terdengar dan semakin lama semakin mendekat pula. Seketika itu juga dia terbangun dari rebahnya. Nampak seorang tua melemparkan senyum kepadanya. “mau ke mana nak”, tanya orang tua itu dengan kesopanan khas orang jawa. “pulang”, jawaban yang keluar begitu saja dari mulut Galaksi. Mata Galaksi mengawasi orang tua itu dengan seksama, dan berhenti pada tangannya yang memegang sebuah golok besar. Tidak mudah memang bagi orang kota untuk percaya pada orang asing yang baru ditemuinya.

“hari sudah semakin sore, kalong sudah keluar dari persembunyian, tidak lama lagi akan gelap, jika anak capek dan mau singgah, aku sangat mempersilahkan”

“tidak, terimakasih, aku harus pulang”

“pulang ke mana? Tidak ada rumah bagi orang yang tersesat”

Galaksi habis kata, dia terdiam sejenak, mungkin akan lama jika orang tua itu tidak cepat-cepat melangkah menuju sebuah tanah yang cukup lapang. Dan tepat di tengah tanah lapang itu berdiri sebuah bangunan kayu yang begitu indah dan kokoh. “Ini rumah kakek?”, orang tua tersebut tidak lantas menjawabnya dengan kata, namun digantikan gestur tangan yang mempersilahkan Galaksi masuk.

Dibuatkanlah kopi dan singkong rebus. Sambil melihat sekeliling rumah, Galaksi berpikir untuk memulai sebuah obrolan guna mencairkan suasana.

“ini rumah kakek?”

“ya, aku sendiri yang membangunnya”

“di mana keluarga kakek?”

“kota”

Obrolan mati. Hanya terdengar suara daun dan batang pohon yang saling bergesekan karena lalu lalang hewan malam.

“tujuan anak ke mana?”

“sebenarnya tidak ada tujuan pasti, hanya ingin sendiri, namun sial, aku lupa jalan pulang”
Kakek itu meminum kopinya dan menyalakan rokok.

Dengan batuk yang dibuat-buat, Galaksi memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh tentang kakek, “kek, kenapa kakek ingin berdiam sendiri di sini?, ke mana keluarga kakek?”. Kakek itu menoleh lemas kepada Galaksi.

“Di dunia yang orang-orangnya haus akan hiruk pikuk, kesunyian adalah sebuah kemewahan”, kalimat kakek yang mengambang di udara dan tatapan mata yang menjurus entah ke mana. Seketika itu pula kenangan masa lalu menerobes tanpa permisi.

Pada saat itu, kakek yang masih muda dan penuh semangat pembaharuan dan salah menempatkan diri. Dia orang benar di waktu yang salah. Pagi-pagi buta pintu rumah digedor dengan laras senjata. Semua isi rumah diobrak-abrik, malang benar nasibnya, ditemukan pedang pula di rumahnya. Kakek berhasil kabur melompati pagar halaman belakang dan membelah perkebunan tebu. Namun tidak bagi istri kakek. Mereka dituduh komunis. Ya, di negeri ini menjadi seorang komunis dipandang sangat hina, lebih hina dari seekor babi yang hidupnya berkubang tahi.

Ya, di negeri ini, orang bisa begitu saja dihukum tanpa pengadilan. Kakek terus saja berlari membela perkebunan tebu, sesekali menoleh kebelakang, dan akhirnya berhenti di pinggiran kali.
Degup jantung mulai meredah, pikiran mulai mengambil alih. Kakek menyesal sebegitu hebat atas penangkapan istrinya. Pertanyaan-pertanyaan yang memburu terus berdatangan. “Kenapa, kenapa aku meninggalkan istriku begitu saja”.

Angin menembus halus dari sela-sela kayu, hewan-hewan malam sibuk dalam dunianya, dan detik jam terus berputar dan umur manusia yang setetes demi setes ikut cair mengekornya. Dua manusia yang khusyuk memandangi perapian dan kopi yang mulai dingin. Malam begitu lambat.

“lalu di mana sekarang istri kakek”

“rumah ini nak, rumah inilah yang telah aku siapkan untuk kepulangan istriku, tak peduli dia masih bernapas atau hanya sebentuk onggokan daging ”

“aku tidak tahu betul bagaimana keadaan dia sekarang, aku sudah coba cari tahu tentang dia, namun orang-orang desa menjauh saat aku dekati, hanya saja waktu itu ada anak kecil yang berteriak mengatakan kalau istriku sudah meninggal. Itu pun keluar dari mulut seorang bocah”

Kakek meminum kopi dingin dan kembali membakar rokok, “rumah inilah tempat aku mengundang istriku, dengan kopi tanpa gula dan asap tembakau, ya, meskipun hanya kenangannyalah yang datang”

Galaksi hanya diam sedari tadi, dia sadar akan kelemahan dirinya di depan seorang tua yang sarat pengalaman. Mungkin hanya tenaga satu-satunya poin yang bisa mengalahkan kakek tua itu. Dia memilih senjata yang paling tepat, menjadi pendengar yang baik.

“ada satu lagi nak yang membuat kakek cemas akhir-akhir ini. Rumah ini akan digusur oleh pemerintah, alasan mereka karena ini adalah hutan lindung. Aku tidak tahu tentang berkas, surat, riwayat yang mereka minta. Aku hanya tahu hutan inilah salah satu saksi nyata sejarah Indonesia. Di sinilah para tentara gerilya bersembunyi dan mengatur strategi, hutan inilah yang menampung para pembangkang yang tidak mau tunduk pada penjajah”

“ya, aneh memang, di dunia seperti sekarang ini manusia dinilai dari berkas-berkas, hanya dari selembar-selembar kertas” galaksi menimpali.

“lalu, apakah kakek akan bertahan di sini? Atau meninggalkan kerja keras yang selama ini kakek kerjakan? Apakah mereka tidak bisa dilawan?” galaksi meneruskan.

“aku terlalu sibuk untuk melawan diriku sendiri, sibuk untuk membenci diriku sendiri”

Kakek terdiam, tampak asap keluar dari mulutnya dan akhirnya hilang bersama angin malam.

Galaksi pun begitu.

Mereka berdua diam.

“lalu bagaimana dengan kamu, nak? Ke manakah anak akan pulang” Kakek bertanya dengan suara seraknya.

“aku ingin pulang, kek”

“Pulang ke rumah tidak semudah seperti yang kita ramalkan. Seperti tercebur dalam sungai yang sama. Dan kamu tidak tahu siapa yang menantimu di balik pintu itu. Karena pulang berarti menjumpai yang selama ini kamu tinggalkan”

“aku tidak hanya ingin pulang, aku ingin ke rumah”

“rumah itu bukan sekedar bangunan, rumah adalah saat kamu bangun dari tidur dan ada sejuta senyum yang menyapamu. Apakah kamu sudah mendapatkan rumah? ”

“aku tidak tahu, tapi aku pernah mendapatkan rumah, di sebuah kota yang jauh dari sini, dan ke sanalah aku aku pulang”

“apa kamu siap?”

“aku tidak tahu pasti, aku tidak tahu seperti apa di sana sekarang, orang-orangnya, udaranya, suasananya”

“nak, pulang ke rumah tidak harus sama seperti dulu. Pulang adalah apa yang kamu rasa, adalah tentang orang-orang yang peduli dengan kamu, yang menerima semua kebaikanmu dan keburukanmu”

Kakek meminum kopinya sampai habis dan mematikan bara rokoknya. Sebuah isyarat untuk segera meletakkan punggung di kasur.

~~~

Pagi begitu dingin.

Galaksi telah siap untuk meninggalkan sebuah rumah kayu istimewa yang diperuntukkan untuk seorang istimewa pula. Sebelum berpamitan dan meninggalkan itu semua. Sekali lagi dia bertanya kepada kakek.

“Kek, apa kakek akan mempertahankan rumah ini”

“Meluapkan segala kebencian, begitulah mati dengan kebebasan”, kakek menjawab dengan bibir gemetar.

“terimaksih untuk rumah, dan kopi, dan singkong rebusnya kek, maaf aku tak bisa memberi apa-apa”

“waktu nak, kamu telah memberi aku waktu, yang tak semua orang dapat memberinya dengan cuma-cuma”.

Pagi menjadi siang dan berganti malam. Rumah itu tetap hangat menanti seorang manusia renta yang entah ke mana…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar