Aku menyesatkan diriku sendiri ke
sebuah desa yang aku sendiri tidak tahu namanya. Semeru, Gunung Semeru itulah
tujuanku awal, namun kenapa semakin dekat tujuan awalku, aku merasa semakin
tidak menarik Gunung suci tersebut. Sampah plastik, makanan ciptaan
laboratorium pabrik, orang-orang yang hanya beberapa kali mendaki gunung namun
cukup lancar untuk menceritakan semua hal tentang gunung, bullshit, pikirku.
Tidak sepantasnya mereka sok tahu tentang gunung meskipun itu terlontar dari
tenggorokan orang yang sudah beratus kali naik gunung. Tidak ada yang tahu
rahasia alam kecuali alam itu sendiri.
Aku berdiri berdempetan dengan
banyak orang sekaligus dalam truk. Seketika itu juga pikiran nakalku melesat
begitu saja. Tidak hanya untuk hewan, manusia yang akan ke alam bebas butuh
rehabilitasi lebih dulu. Seekor serigala di alam bebas yang diburu untuk
dijadikan hewan peliharaan, yang setiap hari diberi makanan siap saji, tempat
tidur dari beludru. Seperti halnya nasib serigala, banyak manusia lupa bahwa
mereka sejatinya adalah mahkluk bebas.
Sendiri bukanlah hal yang asing
bagiku, seperti sekarang ini aku dikelilingi oleh pepohonan dan lahan pertanian
penduduk lokal yang maha luas. Ku putuskan untuk berhenti di tengah jalan dan
sesegera melompat dari bak truk. Tidak ada tujuan pasti memang, tapi itu yang
menarik dari hidup. Kita tak sedikit pun tahu apa yang terjadi di depan sana,
kecuali aku adalah peramal dengan bola kristal, itu pun kalau mereka
benar-benar nyata.
Selama perjalan di sebuah desa ini,
aku melihat bahwa apa yang diobrolkan orang-orang di kota sana tentang kemajuan
tekhnologi sama sekali tidak berlaku di sini. Di mana traktor? Di mana alat
penyebar pestisida dengan sekali tekan tombol?
Sebuah bukit telah aku daki kali
ini, istirahat untuk beberapa menit mungkin cukup baik bagi tubuh seorang warga
kota. Sesekali melihat ke arah langit, mungkin ada baiknya juga tekhnologi yang
sedemikian rupa tidak masuk ke desa ini. Aku melihat seorang ibu yang berjalan
begitu jauh dari rumah ke lahan pertanian, namun tak terdengar sedikit pun
napas yang berat keluar dari hidungnya, apalagi tentang keluh kesah. Bayangkan
jika tekhnologi yang bersahabat dengan manusia namun tidak dengan alam itu
masuk. Aku yakin ibu dengan umur setua itu tidak mampu lagi berjalan jauh. Baik-baik
saja itu memang dapat membunuh.
Mataku tidak henti-hentinya untuk
meminta leherku bergerak ke kanan dan ke kiri. Apa yang terjadi sepuluh tahun
lagi? Semoga tetap sayur dan buah yang mereka tanam, bukan beton. Damai memang
dalam situsi seperti ini, namun tidak bagi petani yang sempat aku temui
sepanjang perjalan tadi, di mana Dewi Sri yang diagungkan dalam cerita Jawa
saat para petani harus panen lebih awal karena serangan hama, atau karena cuaca
tak lagi bisa diprediksi.
Permasalahan orang kota bagaimana
mereka besok dapat makan, permasalahan orang desa bagaiaman orang kota besok
dapat makan. Lucu memang, saat para petani dengan giat bekerja untuk kebutuhan
di kota, kita orang kota tidak sedetik pun memikirkan mereka. Kita terlalu
sibuk dengan deadline harian, macet, takut terlambat, banjir, dan hal sampah
lainnya.
Hmmmm….
Semakin lama di sini, semakin muak batinku dengan kemajuan,
diperparah lagi karena aku secara tidak langsung menikmati kemajuan peradaban.
Damai yang aku impikan tidak kutemui di sini.
Damai sejati hanya ada di
pemakaman.