Kamis, 18 Desember 2014

Lingga Yoni (2)

Aku yang sendiri bersama tas ransel hitamku yang jika dilihat dari samping seperti jin kura-kura. Sore ini aku di sebuah stasiun kereta api yang masih sepi pengunjung. Hanya beberapa orang yang melintas di depan aku duduk sekarang. Hujan lebat yang membuat orang malas untuk bergerak dari satu titik ke titik lain. Pikirku.

Aku duduk di sebuah kursi kayu sambil melihat dua pasang rel yang tak pernah saling bertemu dan beberapa lokomotif tua yang sedang istirahat. Hujan yang begitu deras, sesekali petir menggelitik geli kuping. Samar aku melihat tubuh wanita yang akrab dalam pandangan mataku. Apakah itu dia? pikirku. Dia terlihat kedinginan sekaligus cemas, sesekali menengadahkan tangannya ke arah langit, berharap hujan agar segera reda.

Perempuan yang begitu akrab dalam ingatanku. Aku tahu dia tidak takut hujan, namun memang sayang, jika dia dengan pakaian serapi itu dan dengan paras secantik itu harus basah kuyup. Aku tahu dia tidak takut untuk sakit, apalagi hanya terkena gejala masuk angin. Itu sudah menjadi teman akrabnya. Ya, masuk angin adalah teman baginya. Terihat dia merapatkan jaket warna birunya. sesekali menggosokan kedua telapak tangannya, sebegitu kedinginankah kamu? atau perutmu merontah ingin diisi?, sehingga maag kamu yang bergejolak luar biasa.

Aku menyumpahi diriku sendiri, kenapa aku harus bertanya pada diriku jika jawaban bisa aku dapat dari bibirnya. Sedetik kemudian aku siapkan diriku untuk menemui dia. 

Sebentar. 

Sekarang aku setengah berdiri, tangan kananku siap mengangkat tas ranselku yang sedari tadi tersandar di kaki. Aku siap untuk menyapa dan bersalaman, bertegur sapa, dan berbagi cerita. Namun rencana itu seketika buyar, saat tiba-tiba lampu stasiun tidak lagi menyalakan pendar cahayanya. Gelap.

Aku pun melihat sekitar, tampak beberapa orang menggerutu, bertanya, tertawa mengejek, teriak. Untung petugas stasiun dengan cekatan mengkondisikan suasana. Mungkin karena hal seperti ini sudah sering terjadi di negeriku tersayang ini. Aku berdiri sempurnah, dengan ransel yang sudah memeluk punggunku.

Sial. Aku tak melihat perempuan itu sekarang, entah karena dia sudah pergi atau memang karena stasiun ini begitu gelap. Hanya beberapa cahaya senter dari petugas stasiun yang dapat mataku aku tangkap. "hai kau! petugas stasiun! kenapa tak kau arahkan cahaya sentermu ke tempat perempuan itu duduk!", sial, aku hanya bisa berteriak dalam hati.

Tampak kepanikan terjadi, beberapa calon penumpang berjalan ke sana ke mari. Hanya siluetnya yang bisa  tertangkap mataku. Aku kembali duduk di kursi kayu sambil kepala tertunduk, dalam hati menyumpahi diriku sensidi. "Bodoh! bukankah momen sepeti ini yang aku tunggu". Aku tertunduk lemas, ratusan siluet manusia yang bisa tertangkap oleh mataku. Dan aku yakin, dari ratusan siluet manusia yang sedari tadi berganti ada satu siluet dari tubuh manusia yang akrab dalam ingatanku. Perempuan itu.

Benar saja. Saat stasiun terang seperti keadaan semula. Tak kutemui lagi tubuh perempuan itu. Sekali lagi, aku menyumpahi diriku sendiri. 

Pengeras suara di stasiun menginformasikan kalau kereta tujuan Jakarta akan segera berangkat. Aku menuju dengan langkah pasti. Tak ada lagi yang dapat menahanku berlama-lama di kota ini. Untuk terakhir kalinya aku melihat sekitaran stasiun. Tak ku temukan perempuan itu. 

Disampingku kini seorang mahasiswa semester awal. Senyum yang aku paksakan saat dia mengulurkan tangannya. Budi, dia mengenalkan namanya. Lingga, Siwa Lingga. Aku menjabat tangannya. Erat. Sangat erat.

Kereta yang aku tumpangi berjalan, menjadikan diriku semakin jauh dari kota asalku, dari orang tuaku, dari sahabatku, dari temanku, dari orang-orang yang sebatas kenal. 

Dari perempuan itu.

"Hidup dapat diringkas menjadi dua kalimat; selamat datang dan selamat jalan"