Lingga Yoni
Matahari menampakkan keperkasaan kali ini, sedikit di atas
dari posisi dahi. Disebuah bukit yang sudah tidak perawan. Banyak gundukan
beton disana dan disini. Tidak banyak manusia yang merasakan jeritan alam,
tertutup oleh kemeriahan gelak tawa para pengunjung, bukit yang sudah tidak
perawan. Sejatinya banyak orang yang sadar bahwa jika semua hilang atau rusak,
manusia tidak dapat memakan uang. Mari menyelam.
Sore itu, dua orang anak manusia tampak serius membicarakan
hal yang tidak serius. Lingga nama lelaki muda itu, berbadan kurus dengan kulit
sawo matang, tampak jelas dari setiap kerut wajahnya saat bicara atau tersenyum
atau berpikir, bahwa dia sedang ingin menjerit dan berkata ‘aku sedang tidak
baik-baik saja’. Siwalingga nama lengkapnya. Sedang perempuan di samping
sedikit di belakang posisi duduk Lingga bernama Sri. Bukan rahasia kalau dia
adalah perempuan yang selalu membawa energi positif, semua yang diceritakannya
tentang semangat, cinta, perjuangan, cita-cita, apapun. Pendeknya dia bisa
dibilang motifator.
Sri menangkap jelas isyarat dari kerutan Lingga, kerutan
yang mewakili isi hati. Kerutan yang berkata ‘aku tidak baik-baik saja’. Mereka
terdiam memandangi raja siang yang menuju pulang. Sri tampak tak tahan dengan
semua omong kosong tentang diam adalah emas.
Sri: apa yang kamu pikirkan?
Lingga: mmmm…
Sri: jika yang keluar dari bibir keringmu adalah ucapan ‘bukan
apa-apa’ atau ‘tidak apa-apa’, aku pergi sekarang
Lingga memulai obrolan sambil mengerutkan kening menjadikan
kerutan yang semula samar semakin jelas terlihat. Dan dengan menyipitkan mata,
entah karena silau cahaya atau karena perkataan yang akan dilontarkan cukup
serius untuk didengar.
Lingga: kamu pernah jatuh cinta?
Sri: jika cinta yang kamu maksud adalah sebuah komitmen tentang
dua orang pasangan, aku belum merasakan
Lingga: apa kamu juga tidak pernah merasakan sakit hati?
Sri: sekarang
Lingga: apa? maksudku apanya yang sekarang?
Sri: aku merasakan sakit hati sekarang, saat tanah tidak
lagi menerima air dari langit dengan leluasa, saat tanah tidak lagi bisa
menumbuhkan rumput-rumput liar, rumput yang rindu oleh sentuhan tangan polos
seorang bocah dan rindu injakan kaki telanjang. Lihat itu!
Sri menunjuk di sekeliling bukit dengan wajah gemas dan gigi
yang saling bertemu
Sri: beton itu bukan disana tempatnya
Lingga: ya, mungkin juga tidak dimana pun
Sri: biar kutebak, apa ini semua tentang Yoni,perempuan yang
selalu hadir disetiap tentangmu?
Lingga hanya medehem dengan tangan yang dari tadi tidak bisa
berhenti untuk mencabuti rumput di sekitaran dia duduk. Sedang Sri maju untuk
duduk tepat di sebelah Lingga. Dua anak manusia sekarang duduk bersila dengan
wajah menatap Surya, keduanya tidak saling bertatap muka dari awal.
Sri: apa yang membuat seorang Lingga menjadi seperti seonggok
daging tidak berguna?
Lingga: aku tidak tahu persis, atau lebih tepatnya bingung
mengutarakannya
Sri: apa kamu bahagia dengan Yoni? Apa hubungan kalian
baik-baik saja? Atau malah sudah karam di tengah samudera sebelum perahu
mencapai dermaga?
Lingga: kita, aku dan Yoni masih berusaha mendayung perahu
itu
Sri: apa kalian masih punya mimpi yang sama?
Pertanyaan itu membuat Lingga menahan nafas sejenak lalu
menghembuskannya dengan kuat
Lingga: aku menemukan semangatku dalam dirinya, kamu mungkin
tidak paham.Terserah. Mungkin kamu menilai aku berlebihan atau dalam hatimu
berkata ‘kau sedang mabuk cinta dan tidak sadar tentang semua yang kamu
bicarakan’, terserah, tapi ijinkan aku bercerita tentang Yoni
Lingga merubah posisi duduknya, diluruskannya kaki yang semula
bersila, tangannya kini menjaga tubuhnya agar tidak rubuh ketanah.
Lingga: aku melihat sesosok anak manusia yang seolah tafakur
saat dia meringkuk menahan dingin dimalam penuh bintang disebuah bukit. Ya, dia
mencoba tidur diudara yang tidak sehangat kamarnya. Dan apa yang kurasakan? Aku
melihatnya seperti gadis kecil yang membutuh hangat peluk dari ibunya dan dongeng
pengantar tidur dari seorang kepala keluarga. Namun berbeda 180 derajat saat
dia terbangun dipagi hari, atau saat aku bertemu disaat dia masih terjaga. Aku
menemukan kekuatan yang nyata di bumi manusia ini. Matanya, senyumnya, alisnya,
tawanya, semuanya memancarkan semangat yang hening. Kamu paham kan Sri, tentang
semangat hening?
Sri: ya, keheningan adalah tingkat yang paling tinggi dalam
jiwa manusia, teruskan
Lingga: apa kamu merasakan apa yang orang lain rasakan?
maksudku jika dua orang sudah menjadi pasangan, apa yang dirasakan salah satu
pasangan tersebut adalah refleksi yang juga dirasakan oleh pasangannya. Aku
merasakannya Sri, sangat nyata di depan hidungku
Sri: apa kalian bahagia?
Untuk pertama kalinya diobrolan sore itu Lingga menatap
wajah Sri.
Lingga: aku iya, Yoni tidak
Sri: tapi aku melihat kalian berdua selalu senyum bahkan
tertawa bersama
Lingga: apa para koruptor itu benar-benar sakit saat akan
menjalani sidang pertamanya?
Sri: tapi katamu tadi jika salah satu pasangan merasakan
bahagia maka pasanggannya turut merasakannya, sebuah refleksi hati
Lingga: aku lebih merasakan ketidak-bahagiaannya lebih nyata
daripada Yoni merasakan kebahagiaanku
Sri: lantas mengapa kamu tidak berusaha atau mungkin sedikit
memaksa agar bahagiamu juga tertular dalam hati Yoni?
Lingga: cinta itu bukan perlombaan, yang mana aku berjuang
mendapatkan untuk diriku sendiri dengan mengambilnya dari orang lain
Sri: aku tahu persis bahwa cinta tidak mengenal kata paksa,
apa kamu akan melepasnya? Apa kamu akan marah pada dirimu sendiri atau mungkin
marah kepada Yoni?
Lingga: ya
Sri: apa yang kamu maksud dengan “ya”? kamu melepaskannya?
melepaskan perempuan yang menjadikan Lingga semangat
Lingga: marah bukan jalan keluar dan diam bukan pula emas.
Aku tidak akan marah pada diriku atau Yoni. Tidak mencintai bukan kesalahan
Cahaya matahari sekarang menyentuh semua bagian wajah dua
orang anak manusia. Terasa hangat dengan perpaduan warna yang indah, lahir dari
kuas Sang Semesta. Gelak tawa terdengar yang keluar dari tenggorokan orang yang
itu-itu saja. Sekelompok pemuda, segerombolan manusia pulang kerja, dan juga terlihat keluarga
kecil yang bahagia dengan anak yang paling kecil digendong oleh bapaknya,
sedang anak berumur sekitar 9 tahun berlarian mengejar ibunya.
Cahaya senja semakin meredup, mungkin 20 menit kemudian Sang
Mata Dewa melanjutkan tugasnya untuk menerangi di bumi bagian lain.
Lingga: sudah lewat jamnya
Sri: hah?
Lingga menyodorkan selinting ganja yang sedari tadi ada
dalam bungkus rokok yang tidak ada rokonya, satu linting lagi masih di dalam
bungkus rokok itu. Sri beranjak dari duduknya lalu menuju warung tempat
berkumpul para pemuda yang dari tadi tertawa, pemuda yang itu-itu saja. Kembali
dengan segelas teh hangat. Kembali Sri duduk bersila persis disamping Lingga
dan dengan atau tanpa sengaja terdengar musik mengalun merdu dari genggaman
Sri, Handphone Sri memutar lagu Hopipolla milik Sigur Ros.
Sri: hai, bicaralah
Lingga: diam, aku sedang merasakan
Lingga menekuk setengah bagian kaki panjangnya, didekapnya
lutut itu dengan tangan sambil arah pandangan persis menuju arah cahaya senja
berasal.
Lingga: apa kamu tidak merasakan kehadirannya?
Sri: siapa?
Lingga: lihat, siapa yang datang
Sri: siapa?
Lingga tidak dapat melihat jelas wajah perempuan yang datang,
sedang Sri masih bingung dan mulai tersadar, lantas mencoba masuk dalam imaji
Lingga. Tampak bayangan itu semakin mendekat, perempuan yang datang menghampiri
dari arah cahaya senja berasal yang menjadikannya sulit dikenali wajahnya dari
posisi seperti itu karena silau. Perempuan berkerudung dengan senyum dengan
pipi penuh dengan alis subur dengan semua kelebihannhya. Semakin mendekat
semakin jelas wajah perempuan itu. Dia datang tanpa kata, hanya senyum yang
mengembang, giginya yang putih muncul hanya setengah bagian. Dia membungkuk,
perempuan itu meraih gelas teh hangat yang digenggam Lingga, meraih lalu
menaruhnya. Dia, sekarang tampak jelas, dengan hidung mancung bertaburan
keringat seperti biji wijen. Diraihnya tangan Lingga, ditarik, diajak berdiri.
Berjalanlah mereka berdua, sepasang kekasih yang berusaha menyembunyikan ragu.
Sri hanya diam, matanya yang mengawasi mereka berjalan menuju senja. Hopipolla
sudah habis berbarengan dengan hilangnya bayangan kedua anak manusia.
Senja sudah menghilang. Suara adzan bersaut-sautan. Dingin
sudah mulai menghinggapi tubuh. Sri masih ditempatnya, masih duduk bersila
bersebelahan dengan Lingga yang masih duduk termenung dengan pandangan hening.
Sri berkata kepada Semesta, ‘ini obrolan tidak serius
tentang hal yang serius’…