Kamis, 18 Desember 2014

Lingga Yoni (2)

Aku yang sendiri bersama tas ransel hitamku yang jika dilihat dari samping seperti jin kura-kura. Sore ini aku di sebuah stasiun kereta api yang masih sepi pengunjung. Hanya beberapa orang yang melintas di depan aku duduk sekarang. Hujan lebat yang membuat orang malas untuk bergerak dari satu titik ke titik lain. Pikirku.

Aku duduk di sebuah kursi kayu sambil melihat dua pasang rel yang tak pernah saling bertemu dan beberapa lokomotif tua yang sedang istirahat. Hujan yang begitu deras, sesekali petir menggelitik geli kuping. Samar aku melihat tubuh wanita yang akrab dalam pandangan mataku. Apakah itu dia? pikirku. Dia terlihat kedinginan sekaligus cemas, sesekali menengadahkan tangannya ke arah langit, berharap hujan agar segera reda.

Perempuan yang begitu akrab dalam ingatanku. Aku tahu dia tidak takut hujan, namun memang sayang, jika dia dengan pakaian serapi itu dan dengan paras secantik itu harus basah kuyup. Aku tahu dia tidak takut untuk sakit, apalagi hanya terkena gejala masuk angin. Itu sudah menjadi teman akrabnya. Ya, masuk angin adalah teman baginya. Terihat dia merapatkan jaket warna birunya. sesekali menggosokan kedua telapak tangannya, sebegitu kedinginankah kamu? atau perutmu merontah ingin diisi?, sehingga maag kamu yang bergejolak luar biasa.

Aku menyumpahi diriku sendiri, kenapa aku harus bertanya pada diriku jika jawaban bisa aku dapat dari bibirnya. Sedetik kemudian aku siapkan diriku untuk menemui dia. 

Sebentar. 

Sekarang aku setengah berdiri, tangan kananku siap mengangkat tas ranselku yang sedari tadi tersandar di kaki. Aku siap untuk menyapa dan bersalaman, bertegur sapa, dan berbagi cerita. Namun rencana itu seketika buyar, saat tiba-tiba lampu stasiun tidak lagi menyalakan pendar cahayanya. Gelap.

Aku pun melihat sekitar, tampak beberapa orang menggerutu, bertanya, tertawa mengejek, teriak. Untung petugas stasiun dengan cekatan mengkondisikan suasana. Mungkin karena hal seperti ini sudah sering terjadi di negeriku tersayang ini. Aku berdiri sempurnah, dengan ransel yang sudah memeluk punggunku.

Sial. Aku tak melihat perempuan itu sekarang, entah karena dia sudah pergi atau memang karena stasiun ini begitu gelap. Hanya beberapa cahaya senter dari petugas stasiun yang dapat mataku aku tangkap. "hai kau! petugas stasiun! kenapa tak kau arahkan cahaya sentermu ke tempat perempuan itu duduk!", sial, aku hanya bisa berteriak dalam hati.

Tampak kepanikan terjadi, beberapa calon penumpang berjalan ke sana ke mari. Hanya siluetnya yang bisa  tertangkap mataku. Aku kembali duduk di kursi kayu sambil kepala tertunduk, dalam hati menyumpahi diriku sensidi. "Bodoh! bukankah momen sepeti ini yang aku tunggu". Aku tertunduk lemas, ratusan siluet manusia yang bisa tertangkap oleh mataku. Dan aku yakin, dari ratusan siluet manusia yang sedari tadi berganti ada satu siluet dari tubuh manusia yang akrab dalam ingatanku. Perempuan itu.

Benar saja. Saat stasiun terang seperti keadaan semula. Tak kutemui lagi tubuh perempuan itu. Sekali lagi, aku menyumpahi diriku sendiri. 

Pengeras suara di stasiun menginformasikan kalau kereta tujuan Jakarta akan segera berangkat. Aku menuju dengan langkah pasti. Tak ada lagi yang dapat menahanku berlama-lama di kota ini. Untuk terakhir kalinya aku melihat sekitaran stasiun. Tak ku temukan perempuan itu. 

Disampingku kini seorang mahasiswa semester awal. Senyum yang aku paksakan saat dia mengulurkan tangannya. Budi, dia mengenalkan namanya. Lingga, Siwa Lingga. Aku menjabat tangannya. Erat. Sangat erat.

Kereta yang aku tumpangi berjalan, menjadikan diriku semakin jauh dari kota asalku, dari orang tuaku, dari sahabatku, dari temanku, dari orang-orang yang sebatas kenal. 

Dari perempuan itu.

"Hidup dapat diringkas menjadi dua kalimat; selamat datang dan selamat jalan" 

Jumat, 22 Agustus 2014

Jatuh

Aku jatuh untuk sembuh

Lagi-lagi sekali lagi

Sial, mati aku tergencet sepi

Rabu, 30 Juli 2014

420

4:20

Namaku Marry, begitu orang orang biasa memanggilku. Namaku sendiri… Untuk saat ini tak perlu aku sebutkan. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku, aku dengar dari teman dekatku, sebagian mereka memberiku gelar setan, sebagian lagi mengira bahwa aku adalah bidadari surga yang mengejewantah ke bumi. Tapi tidak dengan dua orang bersaudara yang kukenal. Mereka tidak dengan sembrono menilaiku, mereka selalu ingin tahu kesejatianku.

Mereka dua bersaudara yang sayangnya tidak saling tegur sapa semenjak mulai mengenal gambar, cerita, dan film dewasa yang kemudian memuntahkan segala gairah yang berujung onani. Ketika menginjak kelas 3 Sekolah Lanjut Tingkat Pertama, umur mereka 15 tahun. Masalah sepele yang menurut anak seumuran mereka masalah seperti itu melebihi masalah korupsi. Bolos sekolah.

Nakula dan Sadewa namanya. Nakula yang bolos sekolah dilaporkan oleh Sadewa kepada ibunya. Jadilah perang Baratayudha antar keduanya, sampai sekarang ketika usia mereka sudah menginjak angka 25. Tapi dengan atau tidak sengaja, mereka memanggilku dengan nama yang sama. Senja.

Nakula dengan perawakan tinggi dengan badan kurus dan kulit sawo matang, rambut yang dibiarkan panjang yang selintas mirip dengan rambut sang dewa reggae, Bob Marley. Sejak TK satu sekolah dengan saudaranya, Nakula. Namun saat menginjak masa kuliah, mereka berpisah, Nakula memilih jurusan seni rupa. Tak heran, mulai dari kecil bakat melukisnya sudah terlihat jelas. Buku catatan yang seharusnya penuh dengan tulisan tentang mata pelajaran disulapnya menjadi galeri seninya sendiri, penuh gambar lukisan, corat coret disana-sini, namun penuh keindahan.

Beda Nakula, beda Sadewa. Perawakan yang tidak jauh dari Nakula, namun Sadewa sedikit rapi. Kuliah mengambil jurusan ilmu matematika, yang entah mengapa dia memilih jurusan itu, yang lebih konyol lagi, mengapa dia bisa masuk. Karena jika dilihat dari masa kanak-kanak, dia suka dengan alat musik, mulai dari gitar, drum, biola, sampai saxophone.

 “Matematika adalah musik dengan angka,” katanya.

Aku senja, begitu kata mereka. Aku mengenal mereka semenjak mereka duduk di bangku kelas 2 SMA. Entah dari mana aku mulai tersenyum, mengenal, menyapa, sampai bersentuhan kulit. Itu tidak penting. Yang terpenting ialah, bagaimana mereka menilaiku, menyapaku, dan memperlakukan aku sebagai kekasih. Ya, aku Senja, kekasih mereka, dua bersaudara yang tak saling sapa semenjak umur 15 tahun.

Dengan lihai mereka menyembunyikan hubungan istimewa denganku, tidak pernah mengumbar kemesraan di depan umum. Apalah arti itu semua? Bagiku, cara pandang mereka yang berbeda dengan kebanyaak orang itu sudah lebih dari cukup. Toh, kemesraan yang diumbar-umbar akan tidak ada istimewanya jika saat ada momen berdua, pikirku.

Yang aku ingin, kemesraan bisa dinikmati saat berdua, hanya berdua, tanpa perlu pengakuan banyak orang. Begitulah mereka berdua, saudara kembar yang tak saling sapa. Tapi tidak saat hari ulang tahun mereka yang ke-25. Sepeti tahun tahun sebelumnya, perayaan yang tanpa pesta, tanpa keramaian. Mereka punya cara sendiri untuk bersyukur. Hanya saat ulang tahun yang ke-17, ibu bapaknya membuat pesta, teman-teman diundang ke rumah, itu pun tanpa sepengetahuan Nakula dan Sadewa.

Pesta yang ini pengecualian. Seperti hari hari sebelumnya, mereka membuat janji denganku tanpa keduanya tahu aku adalah kekasih mereka berdua.

“Hari ini hari istimewa bagiku,” begitu kata mereka.

Aku datang ke rumahnya, dengan dandanan biasa saja, seperti yang mereka lihat di hari-hari sebelumnya, sederhana. Nakula dan Sadewa menyambut dengan senyum yang hening, yang kutahu, itu penuh akan makna, dan yang perlu kalian tahu, aku di tempat dan waktu yang sama bersama dengan mereka tanpa mereka tahu bahwa aku adalah kekasih mereka berdua.

Entah dewa mana yang sedang memberkahi kami bertiga, atau malah ada setan lewat yang membuat kami bertiga sama-sama tahu, bahwa kami berhubungan satu sama lain sejak delapan tahun yang lalu. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar dalam hal berhubungan. Sempat ada canggung di antara mereka berdua, bukan aku, karena aku tahu mereka adalah saudara kembar sejak dulu.

“Jadi selama ini kamu mengenal Senja?” suara Nakula memecah keheningan.

“sejak kapan? Seberapa sering kamu bertemu dengannya?” Nakula memberondong pertanyaan ke Sadewa.

Hari ini adalah hari pertama sejak 10 tahun lalu mereka bertegur sapa.

“Aku sama sepertimu,” jawab Sadewa penuh arti.

“Hai Senja,” sapa mereka kepadaku bersamaan, yang seketika itu membuat seisi ruangan penuh tawa.

“Lalu, sekarang apa yang kita harus lakukan?” tanya Sadewa dengan sisa-sisa tawanya.

“Kamu, eh, kita. Ya, kita tahu apa yang harus kita lakukan,” balas Nakula.

Dengan obrolan hangat mereka menjamah tubuhku penuh kelembutan.

“Oh ya, kenapa kau menemainya Senja? Sama sepertiku menamainya?” Tanya Nakula.

“Pagi itu tentang semangat, senja tentang perenungan,” jawab Sadewa cepat, seperti dia sudah menyiapkan jawaban itu delapan tahun lalu.

“Banyak orang kelebihan semangat, tapi sangat kurang perenungan,” sambung Sadewa.

Tangan-tangan mereka terampil, mereka sangat hafal lekak-lekuk tubuhku. Bersambung cerita, tanya dan jawab, hanya dengan sesekali melihatku. Jam mulai mendekati waktu biasa aku dan Nakula atau aku dan Sadewa bersenggama. Mereka tidak bicara, angin seakan mati. Sunyi.

“Sudah waktunya!!!” teriak Nakula menyeringai.

“Siapa yang duluan?” tanya Sadewa.

“Ini penghormatan, kamu duluan, dik,” Nakula menjawab dengan menyodorkanku ke tangan Sadewa.

Ya, Sadewa memulai persenggamaan ini, di jam seperti biasanya, seperti hari hari kemarin bersenggama, jam 4:20 sore. Senja.

“Selamat ulang tahun, kak” kata Sadewa kepada Nakula yang sudah siap menikmati tubuhku.

Di menit menit berikutnya, suasana semakin mencair, tubuhku dinikmati dua bersaudara kembar yang menggelar perang Baratayudha untuk mereka sendiri selama 10 tahun. Tapi hari ini, perang itu berakhir hanya dengan satu nama dan jam yang sama pula saat mereka bersenggama. Ganja dan 4:20.

            
Ya, namaku adalah Ganja.

Kamis, 22 Mei 2014

Aku dan Aku

Saat keadaan mendesak berteriak
Bahwa orang-orang terpercaya berdusta
Kata-kata suci hanya ilusi
Tempat ibadah sebagai topeng bopeng wajah celonteng

Kalau tidak menunjuk kedalaman diri sendiri
Kemana lagi aku akan berserah

Bukankah hidup tentang seberapa berani menjadi aku

Minggu, 11 Mei 2014

Untuk Apa?

Namaku anak
Lahir dari rahim bernama ibu
Ibuku pelacur terminal
Pelacur tarif rendahan
50ribu sekali keluar

Dimana ibu saat malam
Dimana aku saat malam
Jangan tanya tentang seseorang bernama bapak
Bapak hanya manusia dengan ribuan janji
Tanpa janji bapak pasti mati
Ibu membunuhnya sejak aku bayi
Sejak ibu menutup kuping rapat-rapat

Ibuku kini sudah tua
Tak sudi orang menjamah
Ibuku tua dan lemah
Ibu sering sambat
Lapar
Mual
Pusing
Sampai vagina gatal

Seminggu lagi tuan kontrakan telah habis sabar
Dia, tuan kontrakan melabrak kami
Tak usah kau bayar uang sewaan
Pergi minggu depan
Kosongan ruangan

Diluar malam seperti biasanya, dingin
Ibu meringkuk
Sambil menggerutu
Tuhan aku ingin makan
Aku meringkuk dengan lutut tertekuk
Mencoba menulikan telinga

Pertanyaanku waktu kecil dulu
Sekarang terjawab
Pertanyaan yang aku tanyakan kepada Tuhan
Disebuah terminal yang sudah kosong

Pertanyaan untuk apa aku dilahirkan

Untuk memeluk seorang pelacur yang sudah tua

Sabtu, 22 Maret 2014

Lingga Yoni


Lingga Yoni

Matahari menampakkan keperkasaan kali ini, sedikit di atas dari posisi dahi. Disebuah bukit yang sudah tidak perawan. Banyak gundukan beton disana dan disini. Tidak banyak manusia yang merasakan jeritan alam, tertutup oleh kemeriahan gelak tawa para pengunjung, bukit yang sudah tidak perawan. Sejatinya banyak orang yang sadar bahwa jika semua hilang atau rusak, manusia tidak dapat memakan uang. Mari menyelam.

Sore itu, dua orang anak manusia tampak serius membicarakan hal yang tidak serius. Lingga nama lelaki muda itu, berbadan kurus dengan kulit sawo matang, tampak jelas dari setiap kerut wajahnya saat bicara atau tersenyum atau berpikir, bahwa dia sedang ingin menjerit dan berkata ‘aku sedang tidak baik-baik saja’. Siwalingga nama lengkapnya. Sedang perempuan di samping sedikit di belakang posisi duduk Lingga bernama Sri. Bukan rahasia kalau dia adalah perempuan yang selalu membawa energi positif, semua yang diceritakannya tentang semangat, cinta, perjuangan, cita-cita, apapun. Pendeknya dia bisa dibilang motifator.

Sri menangkap jelas isyarat dari kerutan Lingga, kerutan yang mewakili isi hati. Kerutan yang berkata ‘aku tidak baik-baik saja’. Mereka terdiam memandangi raja siang yang menuju pulang. Sri tampak tak tahan dengan semua omong kosong tentang diam adalah emas.

Sri: apa yang kamu pikirkan?

Lingga: mmmm…

Sri: jika yang keluar dari bibir keringmu adalah ucapan ‘bukan apa-apa’ atau ‘tidak apa-apa’, aku pergi sekarang

Lingga memulai obrolan sambil mengerutkan kening menjadikan kerutan yang semula samar semakin jelas terlihat. Dan dengan menyipitkan mata, entah karena silau cahaya atau karena perkataan yang akan dilontarkan cukup serius untuk didengar.

Lingga: kamu pernah jatuh cinta?

Sri: jika cinta yang kamu maksud adalah sebuah komitmen tentang dua orang pasangan, aku belum merasakan

Lingga: apa kamu juga tidak pernah merasakan sakit hati?

Sri: sekarang

Lingga: apa? maksudku apanya yang sekarang?

Sri: aku merasakan sakit hati sekarang, saat tanah tidak lagi menerima air dari langit dengan leluasa, saat tanah tidak lagi bisa menumbuhkan rumput-rumput liar, rumput yang rindu oleh sentuhan tangan polos seorang bocah dan rindu injakan kaki telanjang. Lihat itu!

Sri menunjuk di sekeliling bukit dengan wajah gemas dan gigi yang saling bertemu

Sri: beton itu bukan disana tempatnya

Lingga: ya, mungkin juga tidak dimana pun

Sri: biar kutebak, apa ini semua tentang Yoni,perempuan yang selalu hadir disetiap tentangmu?

Lingga hanya medehem dengan tangan yang dari tadi tidak bisa berhenti untuk mencabuti rumput di sekitaran dia duduk. Sedang Sri maju untuk duduk tepat di sebelah Lingga. Dua anak manusia sekarang duduk bersila dengan wajah menatap Surya, keduanya tidak saling bertatap muka dari awal.

Sri: apa yang membuat seorang Lingga menjadi seperti seonggok daging tidak berguna?

Lingga: aku tidak tahu persis, atau lebih tepatnya bingung mengutarakannya

Sri: apa kamu bahagia dengan Yoni? Apa hubungan kalian baik-baik saja? Atau malah sudah karam di tengah samudera sebelum perahu mencapai dermaga?

Lingga: kita, aku dan Yoni masih berusaha mendayung perahu itu

Sri: apa kalian masih punya mimpi yang sama?

Pertanyaan itu membuat Lingga menahan nafas sejenak lalu menghembuskannya dengan kuat

Lingga: aku menemukan semangatku dalam dirinya, kamu mungkin tidak paham.Terserah. Mungkin kamu menilai aku berlebihan atau dalam hatimu berkata ‘kau sedang mabuk cinta dan tidak sadar tentang semua yang kamu bicarakan’, terserah, tapi ijinkan aku bercerita tentang Yoni

Lingga merubah posisi duduknya, diluruskannya kaki yang semula bersila, tangannya kini menjaga tubuhnya agar tidak rubuh ketanah.

Lingga: aku melihat sesosok anak manusia yang seolah tafakur saat dia meringkuk menahan dingin dimalam penuh bintang disebuah bukit. Ya, dia mencoba tidur diudara yang tidak sehangat kamarnya. Dan apa yang kurasakan? Aku melihatnya seperti gadis kecil yang membutuh hangat peluk dari ibunya dan dongeng pengantar tidur dari seorang kepala keluarga. Namun berbeda 180 derajat saat dia terbangun dipagi hari, atau saat aku bertemu disaat dia masih terjaga. Aku menemukan kekuatan yang nyata di bumi manusia ini. Matanya, senyumnya, alisnya, tawanya, semuanya memancarkan semangat yang hening. Kamu paham kan Sri, tentang semangat hening?

Sri: ya, keheningan adalah tingkat yang paling tinggi dalam jiwa manusia, teruskan

Lingga: apa kamu merasakan apa yang orang lain rasakan? maksudku jika dua orang sudah menjadi pasangan, apa yang dirasakan salah satu pasangan tersebut adalah refleksi yang juga dirasakan oleh pasangannya. Aku merasakannya Sri, sangat nyata di depan hidungku

Sri: apa kalian bahagia?

Untuk pertama kalinya diobrolan sore itu Lingga menatap wajah Sri.

Lingga: aku iya, Yoni tidak

Sri: tapi aku melihat kalian berdua selalu senyum bahkan tertawa bersama

Lingga: apa para koruptor itu benar-benar sakit saat akan menjalani sidang pertamanya?

Sri: tapi katamu tadi jika salah satu pasangan merasakan bahagia maka pasanggannya turut merasakannya, sebuah refleksi hati

Lingga: aku lebih merasakan ketidak-bahagiaannya lebih nyata daripada Yoni merasakan kebahagiaanku

Sri: lantas mengapa kamu tidak berusaha atau mungkin sedikit memaksa agar bahagiamu juga tertular dalam hati Yoni?

Lingga: cinta itu bukan perlombaan, yang mana aku berjuang mendapatkan untuk diriku sendiri dengan mengambilnya dari orang lain

Sri: aku tahu persis bahwa cinta tidak mengenal kata paksa, apa kamu akan melepasnya? Apa kamu akan marah pada dirimu sendiri atau mungkin marah kepada Yoni?

Lingga: ya

Sri: apa yang kamu maksud dengan “ya”? kamu melepaskannya? melepaskan perempuan yang menjadikan Lingga semangat

Lingga: marah bukan jalan keluar dan diam bukan pula emas. Aku tidak akan marah pada diriku atau Yoni. Tidak mencintai bukan kesalahan

Cahaya matahari sekarang menyentuh semua bagian wajah dua orang anak manusia. Terasa hangat dengan perpaduan warna yang indah, lahir dari kuas Sang Semesta. Gelak tawa terdengar yang keluar dari tenggorokan orang yang itu-itu saja. Sekelompok pemuda, segerombolan manusia  pulang kerja, dan juga terlihat keluarga kecil yang bahagia dengan anak yang paling kecil digendong oleh bapaknya, sedang anak berumur sekitar 9 tahun berlarian mengejar ibunya.

Cahaya senja semakin meredup, mungkin 20 menit kemudian Sang Mata Dewa melanjutkan tugasnya untuk menerangi di bumi bagian lain.

Lingga: sudah lewat jamnya

Sri: hah?

Lingga menyodorkan selinting ganja yang sedari tadi ada dalam bungkus rokok yang tidak ada rokonya, satu linting lagi masih di dalam bungkus rokok itu. Sri beranjak dari duduknya lalu menuju warung tempat berkumpul para pemuda yang dari tadi tertawa, pemuda yang itu-itu saja. Kembali dengan segelas teh hangat. Kembali Sri duduk bersila persis disamping Lingga dan dengan atau tanpa sengaja terdengar musik mengalun merdu dari genggaman Sri, Handphone Sri memutar lagu Hopipolla milik Sigur Ros.

Sri: hai, bicaralah

Lingga: diam, aku sedang merasakan

Lingga menekuk setengah bagian kaki panjangnya, didekapnya lutut itu dengan tangan sambil arah pandangan persis menuju arah cahaya senja berasal.

Lingga: apa kamu tidak merasakan kehadirannya?

Sri: siapa?

Lingga: lihat, siapa yang datang

Sri: siapa?

Lingga tidak dapat melihat jelas wajah perempuan yang datang, sedang Sri masih bingung dan mulai tersadar, lantas mencoba masuk dalam imaji Lingga. Tampak bayangan itu semakin mendekat, perempuan yang datang menghampiri dari arah cahaya senja berasal yang menjadikannya sulit dikenali wajahnya dari posisi seperti itu karena silau. Perempuan berkerudung dengan senyum dengan pipi penuh dengan alis subur dengan semua kelebihannhya. Semakin mendekat semakin jelas wajah perempuan itu. Dia datang tanpa kata, hanya senyum yang mengembang, giginya yang putih muncul hanya setengah bagian. Dia membungkuk, perempuan itu meraih gelas teh hangat yang digenggam Lingga, meraih lalu menaruhnya. Dia, sekarang tampak jelas, dengan hidung mancung bertaburan keringat seperti biji wijen. Diraihnya tangan Lingga, ditarik, diajak berdiri. Berjalanlah mereka berdua, sepasang kekasih yang berusaha menyembunyikan ragu. Sri hanya diam, matanya yang mengawasi mereka berjalan menuju senja. Hopipolla sudah habis berbarengan dengan hilangnya bayangan kedua anak manusia.

Senja sudah menghilang. Suara adzan bersaut-sautan. Dingin sudah mulai menghinggapi tubuh. Sri masih ditempatnya, masih duduk bersila bersebelahan dengan Lingga yang masih duduk termenung dengan pandangan hening.


Sri berkata kepada Semesta, ‘ini obrolan tidak serius tentang hal yang serius’…

Rabu, 26 Februari 2014

Hanya Arimbi

Malam
Jam dua belas sekarang
Tepat di tengah
Hening hening hening
Angin mati

Bunyi tiang jauh disana
Dua belas kali hitungan
Ya, disana

Di depan mata
Sejengkal dengan ujung hidung
Arimbi menari
Berlari dengan luka
Tak sempat terobati
Arimbi ini
Bukan adik Arimba
Ataupun istri Bima
Ini Arimbi
Hanya Arimbi

Yang selalu menari
Agar luka tak terasa
Nyeri
Kakinya berlari
Tak peduli karang
Tak peduli ombak
Terjang
Dia
Arimbi
Yang hanya Arimbi

Seekor ikan
Lincah menari
Dalam air
Di darat
Ia mati
Beda dengan Arimbi

Burung bertengger
Indah berjejer
Peluru meluncur
Mati satu
Semua pergi
Beda dengan Arimbi

Dia tak terbendung
Juga membendung

Karena dia hanya Arimbi