Minggu, 22 Februari 2015

Kunang - kunang

“Suatu hari nanti anak cucu kita akan menganggap kunang-kunang adalah hewan mitologi”

Di atas kakus aku melihat senyum lebar Walikota Malang di sebuah surat kabar harian, dengan bangga dia mengenalkan ke masyarakat proyek baru untuk menghiasai wajah kota Malang agar terlihat indah. Proyek baru itu dia namai taman kunang-kunang. Begitu mulia mimpinya, karena di jaman seperti sekarang ini, aku jarang menemukan hewan dengan keunikan kelap-kelip cahaya yang keluar dari tubuhnya. Ya, aku jarang menemukan kunang-kunang, kalau pun melihatnya, pemandangan itu aku dapatkan jauh dari pusat kota. Namun alangkah tinggi imajiku, jika aku dapat melihat kunang-kunang di pusat kota. Proyek yang dinamai kunang-kunang tak lebih hanya sebuah lampu kelap-kelip yang entah itu mirip kunang-kunang atau warung remang-remang.

Aku yakin bapak Walikota yang bersahaja tahu bahwa untuk mengundang kunang-kunang datang tak perlu dengan menancapkan beton di sebuah taman, yang malah akan menambah titik banjir Kota Malang. Kunang-kunang adalah salah satu indikator udara dan air bersih. Oh bapak Walikota yang senyumnya semanis jenang grendul, bapak yang ingin mengundang kunang-kunang, ketahuilah wahai bapak, jika di kota malang ini masih banyak pemuda-pemudi yang masih sadar akan kebersihan lingkungan. Kalau pun hamba yang orang pribumi asli, yang sering dianggap bodoh dan sering membuat onar ingin memberi saran. Semoga saran ini sampai ke telinga sampeyan.

Wilayah Kota Malang cukup luas, untuk saat ini masih banyak lahan-lahan entah milik siapa yang berpotensi untuk dijadikan sebuah taman. Sebuah taman yang memang untuk publik, benar-benar untuk publik. Yang bukan semua taman bertempel sebuah logo produk tertentu, yang tidak ada pengelola tunggal. Karena apa bapak Walikota, taman yang sudah bapak bangun selalu ada logo produk, selalu ada yang mengaku sebagai pengelola, di mana ruang publiknya bapak?, hingga kami yang ingin menanam di taman tersebut harus kejar-kejaran agar tanaman kami tidak dianggap sampah lalu dibuang.  Atau kami yang ingin berkegiatan tertentu harus berpikir lebih untuk mendapat surat ijin dari dinas terkait.

Bapak Walikota, bapak membangun ruang publik haruskah menimbang aspek keuntungan?. Sudikah bapak untuk menyediakan lahan yang cukup luas untuk kita kelola. Sungguh bapak akan mendapat ganjaran luar biasa banyaknya dari Gusti Allah. Biarkan aku yang jomblo tapi berguna ini berkreasi, bapak. Sediakan lahan, di mana aku dan teman-teman bisa membuat taman yang indah, yang membuat kunang-kunang tak segan datang. Kami bisa menanam di sana, berkegiatan tanpa harus kucing-kucingan. Meskipun taman kami nanti tidak seindah taman Asoka, tidak seindah taman buatan Rahwana. Tapi percayalah duhai bapak. Kami akan membangun taman yang tak kalah indah dari taman kunang-kunang bapak. Kami tak butuh lampu warna-warni, kami hanya butuh tempat untuk berkreasi. Coba bayangkan, jika di taman tersebut ada anak-anak kecil yang tidak hanya bermain, tapi melakukan kegiatan yang menampung imajinasi mereka, ada para pemuda-pemudi yang berkreasi saling bertukar ilmu yang tidak dapat mereka dapatkan di kelas yang bapak sendiri tahu, untuk masuk kelas tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di taman tersebut ada bangunan kayu yang diperuntukan untuk sebuah perpustakan umum. Ada beberapa kandang  rumah bagi hewan, kolam kecil, sungai yang bersih untuk saluran irigasi tanaman. Ada pun kegiatan mengolah hasil tanaman atau sayuran dari taman tersebut yang juga dilakukan di taman tersebut. Coba bayangkan bapak, kalaupun ide ini terlalu mustahil bagi sampeyan, jangan lagi membayangkannya. Kumpulkan keberanian bapak untuk mewujudkan taman tersebut. Biarkan kami yang melakukan. Bapak istirahat saja berkumpul dengan keluarga.

Tapi jika, ini hanya seandainya, andai kata, bapak. Taman itu memang terwujud, sudikah bapak untuk tidak mengklaim taman tersebut sebagai taman hasil kerja keras bapak, sebagai taman milik pemerintah. Karena taman itu bukan milik lembaga apapun, bukan milik perseorangan. Taman itu milik semua orang.

Cukup sekian saran dari aku.

Jujur saja, aku dibuat kebingungan akan ke manakah saran ini aku kirim. Jadi untuk mengurangi kebingunganku, aku tulis saran ini dan aku unggah di blog pribadiku. Harapanku, ada seseorang yang membaca dan mengatakan langsung kepada bapak. Karena aku yang hanya mahasiswa semester akhir cukup sadar diri, harus banyak tangan yang harus aku lewati sekedar bersalaman dengan bapak.

Untuk siapa pun kamu yang membaca tulisanku ini dan yang mempunyai akses untuk bersalaman dengan bapak Walikota Malang. Tolong sampaikan saranku kepada beliau. Matur nuwun.


Jumat, 06 Februari 2015

Bersatulah pelacur-pelacur Indonesia

Dini hari tadi
Sepulang kerja
Aku melihat Satu dua tiga pelacur
Gerombolan pelacur
Menanti pelir-pelir yang siap dipompa

Pagi ini
Aku melihat pelacur
Berdandan rapi
Buat apa dandan begitu rapi
Jika tidak untuk menyenangkan pemilik modal

Masih di pagi yang sama
Pelacur lain menampakan diri
Tidak kalah rapi
Demi untuk
Sekat-sekat kantor
Dan monitor

Sore hari
Jam pulang kerja
Aku terhimpit oleh sekumpulan pelacur-pelacur lain
Di jalanan yang memudarkan riasan wangi mereka

Pelacur hari ini
Juga berpenis

Pelacur haru ini
Begitu rapi

Pelacur hari ini
Mengangkat harga diri

Pelacur hari ini...

Begitu sepi

Aku yang juga seorang pelacur
Mencoba bermimpi
Bergandengan tangan
Baris-berbaris di jalan
Mengangkat amarah
Dengan tangan penuh bunga
Tanpa parang atau senapan
Disetiap penjuru kota
Di depan pabrik-pabrik
Perkantoran
Bahkan yang terpinggirkan dalam selokan
Siap berteriak dan menaburkan bunga Wijayakusuma

Bersatulah pelacur-pelacur Indonesia!!!