Minggu, 06 Desember 2015

Damai Yang Aku Cari Tidak Lebih Jauh Dari Urat Leherku



Aku menyesatkan diriku sendiri ke sebuah desa yang aku sendiri tidak tahu namanya. Semeru, Gunung Semeru itulah tujuanku awal, namun kenapa semakin dekat tujuan awalku, aku merasa semakin tidak menarik Gunung suci tersebut. Sampah plastik, makanan ciptaan laboratorium pabrik, orang-orang yang hanya beberapa kali mendaki gunung namun cukup lancar untuk menceritakan semua hal tentang gunung, bullshit, pikirku. Tidak sepantasnya mereka sok tahu tentang gunung meskipun itu terlontar dari tenggorokan orang yang sudah beratus kali naik gunung. Tidak ada yang tahu rahasia alam kecuali alam itu sendiri.

Aku berdiri berdempetan dengan banyak orang sekaligus dalam truk. Seketika itu juga pikiran nakalku melesat begitu saja. Tidak hanya untuk hewan, manusia yang akan ke alam bebas butuh rehabilitasi lebih dulu. Seekor serigala di alam bebas yang diburu untuk dijadikan hewan peliharaan, yang setiap hari diberi makanan siap saji, tempat tidur dari beludru. Seperti halnya nasib serigala, banyak manusia lupa bahwa mereka sejatinya adalah mahkluk bebas.

Sendiri bukanlah hal yang asing bagiku, seperti sekarang ini aku dikelilingi oleh pepohonan dan lahan pertanian penduduk lokal yang maha luas. Ku putuskan untuk berhenti di tengah jalan dan sesegera melompat dari bak truk. Tidak ada tujuan pasti memang, tapi itu yang menarik dari hidup. Kita tak sedikit pun tahu apa yang terjadi di depan sana, kecuali aku adalah peramal dengan bola kristal, itu pun kalau mereka benar-benar nyata.

Selama perjalan di sebuah desa ini, aku melihat bahwa apa yang diobrolkan orang-orang di kota sana tentang kemajuan tekhnologi sama sekali tidak berlaku di sini. Di mana traktor? Di mana alat penyebar pestisida dengan sekali tekan tombol?

Sebuah bukit telah aku daki kali ini, istirahat untuk beberapa menit mungkin cukup baik bagi tubuh seorang warga kota. Sesekali melihat ke arah langit, mungkin ada baiknya juga tekhnologi yang sedemikian rupa tidak masuk ke desa ini. Aku melihat seorang ibu yang berjalan begitu jauh dari rumah ke lahan pertanian, namun tak terdengar sedikit pun napas yang berat keluar dari hidungnya, apalagi tentang keluh kesah. Bayangkan jika tekhnologi yang bersahabat dengan manusia namun tidak dengan alam itu masuk. Aku yakin ibu dengan umur setua itu tidak mampu lagi berjalan jauh. Baik-baik saja itu memang dapat membunuh.

Mataku tidak henti-hentinya untuk meminta leherku bergerak ke kanan dan ke kiri. Apa yang terjadi sepuluh tahun lagi? Semoga tetap sayur dan buah yang mereka tanam, bukan beton. Damai memang dalam situsi seperti ini, namun tidak bagi petani yang sempat aku temui sepanjang perjalan tadi, di mana Dewi Sri yang diagungkan dalam cerita Jawa saat para petani harus panen lebih awal karena serangan hama, atau karena cuaca tak lagi bisa diprediksi.

Permasalahan orang kota bagaimana mereka besok dapat makan, permasalahan orang desa bagaiaman orang kota besok dapat makan. Lucu memang, saat para petani dengan giat bekerja untuk kebutuhan di kota, kita orang kota tidak sedetik pun memikirkan mereka. Kita terlalu sibuk dengan deadline harian, macet, takut terlambat, banjir, dan hal sampah lainnya.

Hmmmm….

             Semakin lama di sini, semakin muak batinku dengan kemajuan, diperparah lagi karena aku secara tidak langsung menikmati kemajuan peradaban. Damai yang aku impikan tidak kutemui di sini. 

Damai sejati hanya ada di pemakaman.

Senin, 07 September 2015

Diam!

Beberapa dari kalian menganggap ini tidaklah penting
Mudah saja karena ini bukanlah kotamu
Mudah saja karena ini bukanlah rumahmu
Bukan tempatmu bermain bersama orang terkasihmu
Bukan pula ranjangmu
Tapi percayalah
Kita sedang diaduk dalam sistem yang sama
Seperti halnya arisan
Sekarang kita, besok adalah kamu

Kami adalah peringatan bagimu
Kami bukanlah orang yang mengancungkan senjata
Agar kamu tunduk dan patuh
Kami adalah bagian dari tubuhmu
Saat ketakutan tidak lagi menguasai
Kami adalah hari di mana tidak ada lagi televisi
Kami adalah kertas kosong di mana kamu bisa menuliskan apa saja

Bagaimanapun itu
Kamu adalah bagian dari kami
Yang mempertanyakan segala hal
Dan dari segala hal itu
Pasti ada yang harus bertanggung jawab dan dijatuhi hukuman

Memang
Lawan kita adalah sebuah monster besar bernama pemerintah
Semua dari kita takut perang, teror, dan penyakit
Tapi harus sampai kapan kita dirasuki rasa takut
Dari dulu hingga sampai di detik kamu baca tulisan ini
Tetap saja pemerintah menjanjikan kedamaian
Menjanjikan hidup layak atas nama rakyat
Namun ada harga yang mahal dari itu semua
Pemerintah meminta kamu diam

Dan jika suatu hari itu semua telah mengusik hidupmu
Bahwa diam bukanlah jawaban dari hidup yang kamu impikan
Tidak ada jalan lain lagi selain
Lawan!



Senin, 17 Agustus 2015

Kereta tak berhenti lama

Kiamat sudah dekat

Kiamat sudah dekat

Orang-orang berlomba meraih pahala

Para suci teriak nama tuhan

Sambil menyiksa

Membunuh

Menuduh

Mereka percaya kiamat

Berawal kehancuran moral

Bermuara kehancuran seisi dunia

Mereka hanya percaya

Kiamat sudah dekat

Kiamat sudah dekat

Mereka berlomba

Mencari jalan

Menuju tuhan

Ya

Mereka percaya

Kiamat sudah dekat

Dengan hanya menunggu

Hanya menunggu

Sambil ndlomong

Melihat kerusakan alam

Mereka hanya percaya

Kiamat sudah dekat

Tanpa berbuat

Karena itulah yang tertulis

Dalam kitab suci

Mereka hanya percaya

Hanya percaya

Dan berusaha mewujudkan yang sudah tertulis

Dalam kitab suci mereka

Kiamat sudah dekat

Oh seisi dunia

Cukup dengan percaya

Hanya dengan percaya

Buang kepercayaan

Sekarang

Kiamat tidak akan pernah ada

Berbuatlah

Berbuatlah


Segera

Karena kereta tak berhenti lama

Selasa, 14 April 2015

Ni(hi)l-ai

Adakah yang berbeda
Dari seorang penyapu jalan
Dari seorang dokter
Dari seorang dosen

Apakah seorang dokter lebih berjasa
Dari seorang penyapu jalanan

Apakah seorang pengkotbah lebih suci
Dari seorang kuli
Yang dari butir dan bau kecut keringat mereka
Berdiri kokoh tempat ibadah
Dan gedung sekolah

Aku bertanya pada setiap kalian
Dari manakah tuan dan nyonya
Menilai seberapa berjasanya kerja seseorang

Jikalau dokter yang kalian tunjuk lebih berjasa
Bagaimana dengan penyapu jalan
Yang setiap hari
Di pagi buta dengan sapu dengan sampah dan debu
Menjauhkan kita dari kumuh

Di manakah nilai jasa dokter
Jika setiap hari kalian
Hidup di tempat yang bersih
Jika setiap hari kalian
Sehat

Sekali lagi aku bertanya pada setiap kalian
Di manakah sosok suci yang kalian yakini
Saat para kuli
Bergotong royong membangun rumah tuhan
Gedung sekolah, rumah sakit, tempat tinggal kalian

Oh tuan dan nyonya
Pernakah terpikir
Seberapa berjasa mereka
Seberapa nilai uang yang mereka dapat

Dimanakah buruh-buruh
Saat kalian berbaris antri
Di kedai
Di toko
Di tempat perbelanjaan
Yang selalu menawarkan barang spesial

Semua profesi sama nilainya
Hanya gaji yang membuat mereka
Seakan berbeda

Sabtu, 28 Maret 2015

Menimang Anak Kecil Yang Sedang Tinggi

Menjadi anak kecil tidak semudah melinting tembakau. Menjadi anak kecil harus berani bermimpi, mempunyai tingkat keingin-tahuan yang tinggi, dan tidak menyimpan dendam. Itulah yang beberapa bulan ini aku pelajari dari kolektif Nandvr Dvlvr. Tidak mudah memang untuk menjadi anak kecil dengan kondisi bumi seperti saat ini. Bagaimana bisa bermimpi tinggi jika yang terpikir hanya menunggu gaji, bagaimana bisa gila akan pengetahuan baru kalau dalam diri sudah merasa tahu segalanya, dan bagaimana bisa berdamai dengan diri sendiri jika lebih suka mencari perbedaan ketimbang persamaan.

Anak kecil yang aku temui di taman kota selalu menghadirkan keceriaan, bukan karena dia datang bersama ibunya yang masih muda, bukan. Tapi karena dalam setiap anak kecil yang datang memiliki imajinasi mereka masing-masing, jadi jangan salahkan mereka saat mereka menggambar sebuah pohon dengan warna hitam, atau menggambar sebuah rumah yang berada di dasar laut. Di setiap mereka mempunyai mimpi akan masa depan dan jangan sekali-kali mencoba untuk menyamakan anak satu dengan anak lainnya, karena mereka terlahir dengan keajaibannya masing-masing.

Dalam benak sebagian orang mimpiku mungkin terlampau tinggi. Tak mengapa, karena memang aku sendiri suka tinggi. Mimpi untuk membangun sebuah sekolah gratis yang di dalamnya tidak ada istilah anak bodoh yang membuat diri mereka seakan berlumuran dosa karena tidak naik kelas. Karena memang tidak ada anak bodoh, semua anak pintar, semua anak punya keinginan dan kemampuan di bidang tertentu, dan sekolah ini nanti akan menggandeng anak tersebut menuju jalan keinginannya. Sekolah ini nanti bukan sekolah yang membebani anak dengan PR, tidak menyuruh anak untuk tunduk pada pengajar, tidak menyuruh anak harus hafal rumus dan tanggal-tanggal ultah pacar/mantan mereka penting dalam buku sejarah. Sekolah ini mengajarkan anak untuk berdiskusi, menjabarkan ide mereka kemudian bergerak bersama. Sekolah yang tidak ada pengajar paten, karena di setiap orang yang terlibat adalah guru sekaligus murid.

“Lalu bagaimana dengan ijasah mereka? apa kantor-kantor atau perusahaan dapat menerima mereka?”

Memang sulit jika melihat situasi seperti hari ini. Seseorang dipandang sukses jika mendapat gelar sarjana atau mempunyai uang ratusan juta. Para pria akan merasa berwibawa dan ksatria saat mengatakan pekerjaannya adalah PNS kepada calon mertua. Begitupun para wanita, mereka akan merasa seperti Cinta yang diperankan Dian Sastro saat bekerja di perusahaan ternama. Namun tidak semua seperti bayanganku di atas, hanya segelintir saja yang seperti itu. Ingat! Hanya segelintir. Lantas bagaimana dengan jawaban pertanyaaan di atas. Ijasah memang penting bagi mereka yang ingin melamar ke perusahaan atau kantor-kantor, namun jika lulusan sekolah gratis ini mempunyai bakat tertentu, bukankah perusahaan itu yang akan mencari mereka, atau malah mereka yang akan membangun perusahaan sendiri, berdikari. Aku tidak menyalakan atau mengkerdilkan orang-orang yang bekerja dalam naungan perusahaan, karena aku sendiri masih bekerja ikut orang. Toh, yang terpenting di sini bagaimana dia dapat mengendalikan dirinya sendiri, menghargai dirinya sendiri.

Dengan adanya sekolah yang tidak ada satupun muridnya bergelar murid bodoh, maka akan menjauhkan anak dari ajang bully. Anak akan saling menghargai keistimewaan anak lainnya. Karena seperti yang aku tulis di atas, bahwa setiap anak terlahir dengan keistimewaan masing-masing. Maka dari itu, dengan sangat bangga aku mengenalkan ide sekolah ini pada kalian yang membaca tulisan ini. Terserah kalian mau memaki aku karena mimpiku yang terlalu tinggi. Karena aku ingin selalu mengajak bermain anak kecil di sekitaranku dan juga anak kecil dalam diriku, maka dari itu mimpiku selalu tinggi, keingin-tahuanku selalu besar, dan aku belajar untuk tidak gampang dendam.


Karena dendam tak ubahnya seperti bom waktu, yang pada saatnya nanti akan menghancurkan segalanya, termasuk diri kita.

Minggu, 22 Februari 2015

Kunang - kunang

“Suatu hari nanti anak cucu kita akan menganggap kunang-kunang adalah hewan mitologi”

Di atas kakus aku melihat senyum lebar Walikota Malang di sebuah surat kabar harian, dengan bangga dia mengenalkan ke masyarakat proyek baru untuk menghiasai wajah kota Malang agar terlihat indah. Proyek baru itu dia namai taman kunang-kunang. Begitu mulia mimpinya, karena di jaman seperti sekarang ini, aku jarang menemukan hewan dengan keunikan kelap-kelip cahaya yang keluar dari tubuhnya. Ya, aku jarang menemukan kunang-kunang, kalau pun melihatnya, pemandangan itu aku dapatkan jauh dari pusat kota. Namun alangkah tinggi imajiku, jika aku dapat melihat kunang-kunang di pusat kota. Proyek yang dinamai kunang-kunang tak lebih hanya sebuah lampu kelap-kelip yang entah itu mirip kunang-kunang atau warung remang-remang.

Aku yakin bapak Walikota yang bersahaja tahu bahwa untuk mengundang kunang-kunang datang tak perlu dengan menancapkan beton di sebuah taman, yang malah akan menambah titik banjir Kota Malang. Kunang-kunang adalah salah satu indikator udara dan air bersih. Oh bapak Walikota yang senyumnya semanis jenang grendul, bapak yang ingin mengundang kunang-kunang, ketahuilah wahai bapak, jika di kota malang ini masih banyak pemuda-pemudi yang masih sadar akan kebersihan lingkungan. Kalau pun hamba yang orang pribumi asli, yang sering dianggap bodoh dan sering membuat onar ingin memberi saran. Semoga saran ini sampai ke telinga sampeyan.

Wilayah Kota Malang cukup luas, untuk saat ini masih banyak lahan-lahan entah milik siapa yang berpotensi untuk dijadikan sebuah taman. Sebuah taman yang memang untuk publik, benar-benar untuk publik. Yang bukan semua taman bertempel sebuah logo produk tertentu, yang tidak ada pengelola tunggal. Karena apa bapak Walikota, taman yang sudah bapak bangun selalu ada logo produk, selalu ada yang mengaku sebagai pengelola, di mana ruang publiknya bapak?, hingga kami yang ingin menanam di taman tersebut harus kejar-kejaran agar tanaman kami tidak dianggap sampah lalu dibuang.  Atau kami yang ingin berkegiatan tertentu harus berpikir lebih untuk mendapat surat ijin dari dinas terkait.

Bapak Walikota, bapak membangun ruang publik haruskah menimbang aspek keuntungan?. Sudikah bapak untuk menyediakan lahan yang cukup luas untuk kita kelola. Sungguh bapak akan mendapat ganjaran luar biasa banyaknya dari Gusti Allah. Biarkan aku yang jomblo tapi berguna ini berkreasi, bapak. Sediakan lahan, di mana aku dan teman-teman bisa membuat taman yang indah, yang membuat kunang-kunang tak segan datang. Kami bisa menanam di sana, berkegiatan tanpa harus kucing-kucingan. Meskipun taman kami nanti tidak seindah taman Asoka, tidak seindah taman buatan Rahwana. Tapi percayalah duhai bapak. Kami akan membangun taman yang tak kalah indah dari taman kunang-kunang bapak. Kami tak butuh lampu warna-warni, kami hanya butuh tempat untuk berkreasi. Coba bayangkan, jika di taman tersebut ada anak-anak kecil yang tidak hanya bermain, tapi melakukan kegiatan yang menampung imajinasi mereka, ada para pemuda-pemudi yang berkreasi saling bertukar ilmu yang tidak dapat mereka dapatkan di kelas yang bapak sendiri tahu, untuk masuk kelas tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di taman tersebut ada bangunan kayu yang diperuntukan untuk sebuah perpustakan umum. Ada beberapa kandang  rumah bagi hewan, kolam kecil, sungai yang bersih untuk saluran irigasi tanaman. Ada pun kegiatan mengolah hasil tanaman atau sayuran dari taman tersebut yang juga dilakukan di taman tersebut. Coba bayangkan bapak, kalaupun ide ini terlalu mustahil bagi sampeyan, jangan lagi membayangkannya. Kumpulkan keberanian bapak untuk mewujudkan taman tersebut. Biarkan kami yang melakukan. Bapak istirahat saja berkumpul dengan keluarga.

Tapi jika, ini hanya seandainya, andai kata, bapak. Taman itu memang terwujud, sudikah bapak untuk tidak mengklaim taman tersebut sebagai taman hasil kerja keras bapak, sebagai taman milik pemerintah. Karena taman itu bukan milik lembaga apapun, bukan milik perseorangan. Taman itu milik semua orang.

Cukup sekian saran dari aku.

Jujur saja, aku dibuat kebingungan akan ke manakah saran ini aku kirim. Jadi untuk mengurangi kebingunganku, aku tulis saran ini dan aku unggah di blog pribadiku. Harapanku, ada seseorang yang membaca dan mengatakan langsung kepada bapak. Karena aku yang hanya mahasiswa semester akhir cukup sadar diri, harus banyak tangan yang harus aku lewati sekedar bersalaman dengan bapak.

Untuk siapa pun kamu yang membaca tulisanku ini dan yang mempunyai akses untuk bersalaman dengan bapak Walikota Malang. Tolong sampaikan saranku kepada beliau. Matur nuwun.


Jumat, 06 Februari 2015

Bersatulah pelacur-pelacur Indonesia

Dini hari tadi
Sepulang kerja
Aku melihat Satu dua tiga pelacur
Gerombolan pelacur
Menanti pelir-pelir yang siap dipompa

Pagi ini
Aku melihat pelacur
Berdandan rapi
Buat apa dandan begitu rapi
Jika tidak untuk menyenangkan pemilik modal

Masih di pagi yang sama
Pelacur lain menampakan diri
Tidak kalah rapi
Demi untuk
Sekat-sekat kantor
Dan monitor

Sore hari
Jam pulang kerja
Aku terhimpit oleh sekumpulan pelacur-pelacur lain
Di jalanan yang memudarkan riasan wangi mereka

Pelacur hari ini
Juga berpenis

Pelacur haru ini
Begitu rapi

Pelacur hari ini
Mengangkat harga diri

Pelacur hari ini...

Begitu sepi

Aku yang juga seorang pelacur
Mencoba bermimpi
Bergandengan tangan
Baris-berbaris di jalan
Mengangkat amarah
Dengan tangan penuh bunga
Tanpa parang atau senapan
Disetiap penjuru kota
Di depan pabrik-pabrik
Perkantoran
Bahkan yang terpinggirkan dalam selokan
Siap berteriak dan menaburkan bunga Wijayakusuma

Bersatulah pelacur-pelacur Indonesia!!!

Selasa, 20 Januari 2015

Lingga Yoni (3)

Sebuah jalan besar yang amat panjang dan aku selalu menoleh ke belakang. Ingin rasanya aku memutar kepalaku sehingga aku tahu apa yang ada di depanku. Seakan sendi-sendi leherku tak mau bekerja sama, kepalaku tidak dapat menuruti keinginanku. Aku tetap menoleh ke belakang untuk beberapa saat. Aku rasakan ngilu yang amat dalam menusuk tulang rahang dan tulang belakangku. Tubuhku sudah lelah. Dan pada akhirnya ketika aku berhasil memaksa kepalaku untuk melihat ke depan, aku langsung terbangun, dengan keringat yang begitu deras melumuri tubuhku.

Mimpi yang sama itu terus menerus terulang.
Mungkin ini sudah ke lima kalinya mimpi yang sama itu datang. Apa artinya?

Tempatkan sesuai porsinya
Adakalanya manusia merasakan kejanggalan dalam situasi tertentu
Seakan dia pernah mengalami kejadian ini sebelumnya
Tapi entah di mana
Sebuah kenangan tidak layak dibuang
Tempatkan sesuai porsinya

Selembar surat tergantung di dinding dekat jendela kamarku. Bertumpuk dengan pernak-pernik kalung koleksiku. Entah dari mana dan dari siapa surat ini. Tanpa nama pengirim, tanggal, dan alamat. Hanya orang iseng pikirku. “Bu, surat ini dari siapa?”, “Oh surat yang tergantung di dinding itu?, ibu tidak tahu, tiba-tiba ada di depan pintu pagi ini, awalnya ada namamu di surat itu, ditulis di kertas yang berbeda, namun karena mungkin perekatnya kurang erat, jatuh saat ibu angkat”. “Sekarang di mana kertasnya?”, aku menuruni anak tangga menuju ruang di mana ibu sedang mengajak bercanda tanamannya. “Itu, di meja makan”. Aku bergegas menuju meja makan, dan benar saja, ada namaku di sobekan kertas itu. Pratiwi.
___

Jalanan jakarta seperti biasanya. Tanpa orang tersenyum, tanpa sapaan ramah, hanya bunyi klakson yang teramat ramai masuk dalam gendang telingaku, membuatku sulit membedakan mana hinaan dan mana kata pujian. Semuanya sama, terangkum dalam setiap detik kota metropolitan yang mau tenggelam. Begitu muram dunia ini. Kondisi sepeti inilah yang selalu aku jadikan senjata setiap ada orang yang bertanya “kok belum nikah?”. Aku tidak ingin membagi kesialan hidup di kota seperti ini dengan orang yang aku sayang, dan satu lagi, aku tidak ingin melahirkan seorang anak dengan kondisi bumi yang tidak ramah dan dengan manusia yang lupa cara tersenyum. Dunia muram, bukan karena tak ada pendar cahaya. Banyak hati yang muram dan ingkar pada kebenaran.

“hallo bro, tumben jam segini sudah datang?”, teriak teman kerjaku yang hanya terlihat bagian atas tubuhnya karena tertutup oleh meja bar. Aku kerja di sebuah kedai kopi milik teman, Erwan, yang hanya seukuran ruang kerja anggota DPR, ditambah dengan luas kamar mandi mereka. Aku mengandaikannya seperti itu. Ejekan sekaligus pujian karena aku samakan dengan ruang kerja anggota dewan terhormat negara. Itu karena aku tidak ingin menyakiti hati temanku dan aku masih butuh kerja di sini. “Iya bro, mau gimana lagi, AC di kamar kos lagi mati, itung-itung numpang AC di sini”. “Oooo gue kira karena nunggu si pratiwi?”. “Eh iya, ke mana dia belum kelihatan batang hidungnya?”. Mulut Erwan belum sempat terbuka saat tiba-tiba pintu kedai terbuka dan seorang perempuan masuk dengan wajah datar. “barusan diobrolin, eh udah nongol aja lu”, Erwan mengganti ucapan selamat datang dengan kalimat yang membuat wajah datar berganti wajah heran. “Kopi satu tanpa gula”, tanpa basa-basi Pratiwi memesan dan duduk di meja bar, sedetik kemudian membuka selembar kertas yang berisi surat dari orang misterius.

Pratiwi selalu duduk di meja bar. Bukan karena dia selalu di tempat ini sendirian, namun karena dia suka aroma kopi. Berkah baginya, musibah bagiku. Karena dengan dia di sana, aku sering tidak fokus meracik setiap kopi pesanan. Aroma parfumnya, mata sipitnya yang terhalang kacamata, dan satu lagi, dia sering berbicara pada dirinya sendiri dengan nada yang dapat aku dengar.
Semua yang dibicarakan tentang kisah cintanya pada seorang pemuda kota asalnya. Alkisah mereka sempat merajut cinta, namun jarak dan hadangan tangan dari orang tua yang membuat mereka berpisah. Lebih parahnya lagi, pemuda idaman Pratiwi tidak sekalipun mengirim kabar, bahkan hanya sekedar sapa. Alhasis, Pratiwi mencari kabar dan mendapatkannya dari media sosial dan yang pada akhirnya membuat Pratiwi jatuh pada titik terendahnya. Dia melihat foto pemuda itu dengan seorang perempuan lain.

Aku mengetahui semua itu bukan karena aku ingin tahu, namun gelombang suara Pratiwi yang melewati udara sampai dengan tanpa seijin masuk dalam gendang telinga. “Siapa kamu?” Pratiwi mengawali monolognya dan aku seperti sapi glongongan yang mau tidak mau harus menelan air yang dimasukkan dengan paksa ke mulutku. Begitu menjengkelkan memang. Namun setelah beberapa minggu mengalami hal yang serupa dengan cerita yang berbeda, aku seperti ibu-ibu kompleks yang menunggu tukang sayur datang. Aku menanti ceritanya. Aku menikmati saat-saat aku diperkosa.

“Aku Galaksi” ku jawab dengan senyum lebar dan sialnya dia tidak menoleh barang sedetik pun. “Bagaiman bisa kamu tahu namaku, alamatku?. Dan kenapa isi surat itu begitu membuatku emmm, entahlah”. Mataku mengamati dia dengan khusyuk, sesang telingaku meraba-raba udara yang merambatkan suaranya. Mulutnya terus saja merapalkan aksara, namun semakin hening. Hening. Hening. Krik krik krik krik…

“Eh nanti malam ke mana?, gak ada rencana tahun baruan nih?” tanyaku dengan nada hambar. Usaha yang kesekian kali akhirnya bisa menggelitik matanya menuju mataku. “aku gak suka malam, lebih suka siang” jawabnya ketus “itu kenapa aku selalu ingin menyendiri saat senja, aku berharap suatu saat Semesta maklum padaku dengan menghentikan waktu saat matahari akan bertugas menyinari bumi bagian lain”. “kenapa dengan malam?” balasku penuh keheranan. “aku tak punya alasan untuk menyukai malam, itu kenapa aku suka matahari”.
___

Benar saja, Pratiwi hanya sendiri di malam tahun baru. Kamarnya begitu terang dengan lampu warna-warni. Mungkin orang menganggap dia sedang merayakan tahun baru, namun kenyataannya dia menemukan penjaranya saat malam tiba. Bukan tanpa alasan kenapa dia tidak suka malam. Pratiwi selalu menghabiskan malam dengan kekasihnya, mantan lebih tepatnya. Ingatannya begitu kuat saat dia berdua di atas ranjang menyambut mentari dengan kepala dia di atas dada pasangannya. Menghitung detak jantung sang mantan hingga fajar menjelang.

“Tiwiiii, ada surat buat kamu”, teriak ibunya dari lantai dasar, disusul ocehan yang samar “gila nih orang, udah tau tengah malam, eh masih aja ngirim surat”. Pratiwi meloncat dari tempat tidurnya, berlari menuruni anak tangga dan dengan sigap membuka surat yang masih tergeletak di meja ruang tamu. “tanpa nama pengirim”, dia berbisik pada dirinya sendiri.  

Di luar langit berwarna-warni
Bukan karena kerlip bintang
Namun karena keangkuhan manusia
Merayakan pesta
Kita hidup dalam tubuh yang sepi
Dengan bedak dan parfum yang ramai
Menghiasi bumi
Cinta yang baik memang tak pernah berisik

Kemarin, hari ini, dan besok atau lusa sama seperti biasanya. Manusia yang dikejar oleh mimpinya, waktu yang terlalu sombong, bahkan hanya untuk berhenti sedetik menikmati kopi dan kretek. Pabrik-pabrik yang berlomba memuaskan keinginan konsumen. Pelayan-pelayan yang memaksakan senyum ke pelanggan. Manusia yang bingung mencari uang dan paham di mana kelak akan menghabiskannya. Para pemuka agama yang gagah berani dengan tanpa dosa menghalalkan pembunuhan. Ya, dunia sedang tidak baik-baik saja. Itu kenapa aku ingin mati muda.

Terhitung sudah dua tahun aku kerja di kedai kopi milik Erwan. Aku bosan dengan kota ini, bukan kedai ini. Semua terasa sama, tanpa ada sesuatu yang berbeda di setiap harinya. Namun kali ini setelah dua tahun aku kerja di sini, aku menemukan momen yang jarang aku temui. SI pembawa berita, Pratiwi, begitu muram. Dia hanya diam di depan meja bar. Kopi yang sedari tadi di atas meja tak tersentuh oleh tangan mungilnya. Pandanggannya kosong menatap sekitaran luar jendela. “gimana malam tahun barumu?” tanyaku yang hanya dalam hati, karena aku tahu dia sama sekali tidak tertarik sengan kata malam. “bagaimana harimu?” sekali lagi hanya dalam hati, karena aku tahu, pertanyaan basa-basi seperti itu tidak bakal mengundang matanya tertuju padaku. Dia hanya diam. Dan yang membuatku semakin resah adalah dia seharian di kedai ini. Itu hal yang sangat jarang dia lakukan. Matahari akan digusur oleh bulan dan dia tetap dengan posisi sempurna. Diam. “Diam adalah tangisan yang paling kuat”, untuk pertama kalinya dalam seharian ini mulutnya mengeluarkan suara. Aku menunggu kalimat-kalimat berikutnya. Telah kupersiapkan sedari tadi kuping ini untuk diperkosanya. Namun sekali lagi ada yang berbeda dengan hari ini. Itu kalimat pembuka sekaligus penutup. Kalimat itu merangkum semua isi hatinya. Dari sudut pandangku saat ini, aku merasa menjadi ksatria tanpa kuda dan senjata. Pecundang lebih tepatnya. Ingin tangan ini memegang pundak Pratiwi dan bibir ini berucap “semua akan bai-baik saja, rencana Semesta selalu indah, namun kita yang melihat dari sudut pandang berbeda. Percayalah, Pratiwi, aku pernah merasakannya”
___

Telah bulat tekadku untuk keluar dari zona yang tidak terlalu nyaman dan aman. Aku sudah bicara panjang lebar kepada Erwan tentang rencanaku keluar dari kota penjara ini. Erwan mengamini niatku dan aku sarankan pula agar dia segera mencari penggantiku.
___

 Jangan kau menangis saat senja tiba
Karena air matamu akan menghalangi kilauan bintang-bintang

Aku mengenalmu bukan dari ceritamu
Tapi karena aku memperhatikanmu

Surat misterius itu tergeletak begitu saja di atas meja bar tempat Pratiwi duduk sekarang. Buruk bagi Pratiwi, karena di kedai inilah tempat pelariannya. Namun surat yang membuat dia selalu bertanya-tanya malah hadir tepat di hadapannya. Ke mana lagi dia akan berlari?. Baik bagi pengirim surat itu, karena tak lagi harus repot mengetuk pintu.

Pratiwi begitu resah, semula memang dia resah karena surat itu seakan mengejarnya. Namun keresahan itu begitu cepat beralih tempat. Kepalanya mengamati sekitar, dia mencari korbannya. Galaksi. “maaf, Galaksi ke mana? Dia tidak masuk hari ini?” tanya Pratiwi pada pemuda asing di balik meja bar. “galaksi sudah gak kerja di sini, aku yang menggantikan posisinya” jawab pemuda itu yang masih sibuk membolak-balikan buku menu. “kenalkan namaku Lingga”, Pratiwi hanya tersenyum tipis. Ada rasa kecewa pada raut mukanya.

Dan surat misterius tidak lagi datang…