4:20
Namaku Marry, begitu orang orang biasa
memanggilku. Namaku sendiri… Untuk saat ini tak perlu aku sebutkan. Entah apa
yang mereka pikirkan tentangku, aku dengar dari teman dekatku, sebagian mereka
memberiku gelar setan, sebagian lagi mengira bahwa aku adalah bidadari surga
yang mengejewantah ke bumi. Tapi tidak dengan dua orang bersaudara yang
kukenal. Mereka tidak dengan sembrono menilaiku, mereka selalu ingin tahu
kesejatianku.
Mereka dua bersaudara yang sayangnya tidak saling
tegur sapa semenjak mulai mengenal gambar, cerita, dan film dewasa yang
kemudian memuntahkan segala gairah yang berujung onani. Ketika menginjak kelas
3 Sekolah Lanjut Tingkat Pertama, umur mereka 15 tahun. Masalah sepele yang menurut anak seumuran mereka
masalah seperti itu melebihi masalah korupsi. Bolos sekolah.
Nakula dan Sadewa namanya. Nakula yang bolos
sekolah dilaporkan oleh Sadewa kepada ibunya. Jadilah perang Baratayudha antar
keduanya, sampai sekarang ketika usia mereka sudah menginjak angka 25. Tapi
dengan atau tidak sengaja, mereka memanggilku dengan nama yang sama. Senja.
Nakula dengan perawakan tinggi dengan badan kurus
dan kulit sawo matang, rambut yang dibiarkan panjang yang selintas mirip dengan
rambut sang dewa reggae, Bob Marley. Sejak TK satu sekolah dengan saudaranya,
Nakula. Namun saat menginjak masa kuliah, mereka berpisah, Nakula memilih
jurusan seni rupa. Tak heran, mulai dari kecil bakat melukisnya sudah terlihat
jelas. Buku catatan yang seharusnya penuh dengan tulisan tentang mata pelajaran
disulapnya menjadi galeri seninya sendiri, penuh gambar lukisan, corat coret
disana-sini, namun penuh keindahan.
Beda Nakula, beda Sadewa. Perawakan yang tidak
jauh dari Nakula, namun Sadewa sedikit rapi. Kuliah mengambil jurusan ilmu
matematika, yang entah mengapa dia memilih jurusan itu, yang lebih konyol lagi,
mengapa dia bisa masuk. Karena jika dilihat dari masa kanak-kanak, dia suka
dengan alat musik, mulai dari gitar, drum, biola, sampai saxophone.
“Matematika adalah musik dengan angka,”
katanya.
Aku senja, begitu kata mereka. Aku mengenal
mereka semenjak mereka duduk di bangku kelas 2 SMA. Entah dari mana aku mulai
tersenyum, mengenal, menyapa, sampai bersentuhan kulit. Itu tidak penting. Yang
terpenting ialah, bagaimana mereka menilaiku, menyapaku, dan memperlakukan aku
sebagai kekasih. Ya, aku Senja, kekasih mereka, dua bersaudara yang tak saling
sapa semenjak umur 15 tahun.
Dengan lihai mereka menyembunyikan hubungan
istimewa denganku, tidak pernah mengumbar kemesraan di depan umum. Apalah arti
itu semua? Bagiku, cara pandang mereka yang berbeda dengan kebanyaak orang itu
sudah lebih dari cukup. Toh,
kemesraan yang diumbar-umbar akan tidak ada istimewanya jika saat ada momen
berdua, pikirku.
Yang aku ingin, kemesraan bisa dinikmati saat
berdua, hanya berdua, tanpa perlu pengakuan banyak orang. Begitulah mereka
berdua, saudara kembar yang tak saling sapa. Tapi tidak saat hari ulang tahun
mereka yang ke-25. Sepeti tahun tahun sebelumnya, perayaan yang tanpa pesta,
tanpa keramaian. Mereka punya cara sendiri untuk bersyukur. Hanya saat ulang
tahun yang ke-17, ibu bapaknya membuat pesta, teman-teman diundang ke rumah,
itu pun tanpa sepengetahuan Nakula dan Sadewa.
Pesta yang ini pengecualian. Seperti hari hari
sebelumnya, mereka membuat janji denganku tanpa keduanya tahu aku adalah
kekasih mereka berdua.
“Hari ini hari istimewa bagiku,” begitu kata
mereka.
Aku datang ke rumahnya, dengan dandanan biasa
saja, seperti yang mereka lihat di hari-hari sebelumnya, sederhana. Nakula dan
Sadewa menyambut dengan senyum yang hening, yang kutahu, itu penuh akan makna,
dan yang perlu kalian tahu, aku di tempat dan waktu yang sama bersama dengan
mereka tanpa mereka tahu bahwa aku adalah kekasih mereka berdua.
Entah dewa mana yang sedang memberkahi kami
bertiga, atau malah ada setan lewat yang membuat kami bertiga sama-sama tahu,
bahwa kami berhubungan satu sama lain sejak delapan tahun yang lalu. Delapan
tahun bukan waktu yang sebentar dalam hal berhubungan. Sempat ada canggung di
antara mereka berdua, bukan aku, karena aku tahu mereka adalah saudara kembar
sejak dulu.
“Jadi selama ini kamu mengenal Senja?” suara
Nakula memecah keheningan.
“sejak kapan? Seberapa sering kamu bertemu
dengannya?” Nakula memberondong pertanyaan ke Sadewa.
Hari ini adalah hari pertama sejak 10 tahun lalu mereka
bertegur sapa.
“Aku sama sepertimu,” jawab Sadewa penuh arti.
“Hai Senja,” sapa mereka kepadaku bersamaan, yang
seketika itu membuat seisi ruangan penuh tawa.
“Lalu, sekarang apa yang kita harus lakukan?”
tanya Sadewa dengan sisa-sisa tawanya.
“Kamu, eh, kita. Ya, kita tahu apa yang harus
kita lakukan,” balas Nakula.
Dengan obrolan hangat mereka menjamah tubuhku
penuh kelembutan.
“Oh ya, kenapa kau menemainya Senja? Sama
sepertiku menamainya?” Tanya Nakula.
“Pagi itu
tentang semangat, senja tentang perenungan,” jawab Sadewa cepat, seperti dia
sudah menyiapkan jawaban itu delapan tahun lalu.
“Banyak orang kelebihan semangat, tapi sangat
kurang perenungan,” sambung Sadewa.
Tangan-tangan mereka terampil, mereka sangat
hafal lekak-lekuk tubuhku. Bersambung cerita, tanya dan jawab, hanya dengan
sesekali melihatku. Jam mulai mendekati waktu biasa aku dan Nakula atau aku dan
Sadewa bersenggama. Mereka tidak bicara, angin seakan mati. Sunyi.
“Sudah
waktunya!!!” teriak Nakula menyeringai.
“Siapa yang duluan?” tanya Sadewa.
“Ini penghormatan, kamu duluan, dik,” Nakula
menjawab dengan menyodorkanku ke tangan Sadewa.
Ya, Sadewa memulai persenggamaan ini, di jam
seperti biasanya, seperti hari hari kemarin bersenggama, jam 4:20 sore. Senja.
“Selamat ulang tahun, kak” kata Sadewa kepada
Nakula yang sudah siap menikmati tubuhku.
Di menit menit berikutnya, suasana semakin
mencair, tubuhku dinikmati dua bersaudara kembar yang menggelar perang
Baratayudha untuk mereka sendiri selama 10 tahun. Tapi hari ini, perang itu
berakhir hanya dengan satu nama dan jam yang sama pula saat mereka bersenggama.
Ganja dan 4:20.
Ya, namaku adalah
Ganja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar