Pasti dari setiap kita pernah mengalami hal-hal
tersulit.
Ya, hal tersebut tidak bisa dinilai secara sembrono,
karena tidak ada peran pengganti untuk merasakan luka dalam diri kita. Setahun
yang lalu, aku merasakan hal tersebut, melambung tinggi lalu jatuh dengan
sekali jadi. Bukan bagaimana aku terjatuh yang ingin aku ceritakan di sini,
namun apa yang aku lakukan setelah itu.
Aku tak ingat pasti tanggal berapa, namun minggu
senja dan taman kota adalah kombinasi yang aduhay untuk berkumpul bertukar
cerita bersama teman. Aku, Lintang, dan Nadia, bertiga melingkar sambil
memegang kuas. Ah bodoh memang aku dalam hal corat-mencoret.
Aku, Zebra, dan Kongja |
Tiga manusia aneh, yang satu berambut panjang konon
adalah jelmaan Zebra, dan wanita di sebelahku saat itu lebih mirip Kongja. Tiga
manusia aneh itulah yang membuat rasa penasaran di luar lingkaran. Adik-adik
kecil pengunjung taman kian lama kian mendekat juga. Mereka ingin juga
mencorat-coret lembaran kosong itu. Sungguh menyenangkan memang, seperti kata
Iwan Fals “memberi itu terangkan hati, seperti matahari yang menyinari bumi”,
ya, kami berbagi keceriaan senja di taman kota.
Beberapa anak mulai penasaran dengan kegiatan kami |
Dan kami tidak mau begitu saja melewatkan keceriaan sederhana di taman kota saat itu, sepakat untuk mengulangnya kembali di minggu berikutnya.
Mendengar ada keceriaan taman di kota tetangga,
membuat telinga kami bertiga tergelitik ingin tahu apa yan mereka lakukan.
Berangkatlah kami menuju sarang mereka, oh iya, ada satu manusia goa dengan
segala imajinasi liarnya yang ikut dengan kami, Aswin. Dan satu lagi perempuan,
Vania.
Mereka juga seseruan di taman kota Batu. Ada Rio,
Didi, dan Deno, tiga serangkai yang mirip dengan Aang, Saka, dan Katara. Mereka
menamai kegiatan mereka Nandur Dulur yang dalam bahasa Indonesia bermakna
menanam persaudaraan. Konon, nama Nandur Dulur keluar dari mulut seorang
vokalis band ternama Kota Malang, Screaming Factor. Mas Novi yang mencetuskan
nama tersebut. Sederhana dengan makna yang luar biasa, Nandur Dulur kami bawa
turun ke Kota Malang.
Berbekal kuas, pensil, cat air, pensil warna,
kertas, panggung boneka dan magical box yang berisi buku dan komik untuk
anak-anak, kami bersiap dengan mengusung sebuah semangat Nandur Dulur di Kota
Malang.
Kotak ajaib yang selalu menamani seseruan |
Tak disangka memang, kegiatan sederhana tersebut
menarik banyak minat orang-orang, satu persatu orang datang berkenalan dan
menawarkan diri untuk ikut membantu, seperti Desi contohnya Meskipun hanya
sebentar karena kesibukan di dunia pertanian, dia pernah merasakan
berdesak-desakan dengan teman-teman lain di balik panggung boneka untuk
menceritakan dongeng.
Mendongeng dan berdesakan |
Bagaimanpun itu, hukum alam memang bekerja, beberapa
teman datang dan pergi. Itu bukanlah masalah yang berarti, karena sedari awal
memang tidak ada paksaan untuk siapa pun itu ikut berkontribusi di Nandur
Dulur. Seperti kata Pak Maruto salah satu seniman keren Kota Malang “setiap
karya akan menemukan jodohnya sendiri”, begitu juga Nandur Dulur, kami tidak
takut akan kekurangan orang-orang yang ingin berbagi keceriaan.
Terbukti memang, Tintus, mahasiswi dengan keahlian
memijat sapi ujuk-ujuk datang dengan senyum lebarnya. Siapa yang mengira
perempuan berbadan gempal penuh tatto itu suka rela untuk mengajari anak-anak
kecil menggambar.
Nandur Dulur semakin dikenal masyarakat, banyak para
orang tua, anak, dan muda mudi menanti acara ini. Timbullah pertanyaan dari
benak sebagian dari mereka, “bagaimana Nandur Dulur membiayai kegiatannya?”,
dengan senyum ikhlas tanpa paksaan kami selalu jawab “kami membiayai dari uang
kas, yang mana uang kas itu hasil dari patungan”. Dan jawaban kami tersebut
menimbulkan pertanyaan untuk diri kami sendiri, “sampai kapan kita harus
membiayai dari uang patungan?”.
Muncullah ide untuk membuat produk, seperti
kaos, kantong, emblem, atau stiker. Pepatah lama “kalau ada kemauan pasti ada
jalan” masih berlaku ternyata. Tak lama setelah ide itu muncul, Pena Hitam
sebuah kolektif sadis akan mengadakan ulang tahunnya yang ketiga di bukit
paralayang. Dan kami pun ikut serta (meskipun kami tidak ikut dalam antrian
daftar :p) dalam pesta tersebut dengan menggelar lapakan kami.
Alhasil, keuntungan yang kami dapat cukup untuk membeli
peralatan menggambar dan memperbaiki panggung boneka (yang awalnya dari kardus
bekas diganti dengan kayu).
Tak hanya teror bom yang cepat meluas, keceriaan
sederhana di taman pun begitu juga. Terbukti teman-teman dari Kota Kediri
mendengar kegiatan Nandur Dulur, hanya dengan sekali bertemu dan mengobrol
tentang Nandur Dulur, mereka sepakat untuk membuat Nandur Dulur mereka di Kota
Kediri. Sungguh menyenangkan saat virus seseruan di taman dapat tertular dan
menyebar.
Tak lengkap memang menceritakan sebuah kisah tanpa
adanya konflik. Ya, kami juga sering mengalami konflik internal. Entah itu
konflik pribadi, kolektif, pribadi yang dibawa ke kolektif. Dan bagiku, konflik
adalah bagian dari proses kedekatan itu sendiri. Tidak mudah memang untuk
menyatukan banyak kepala dalam satu rumah. Ada yang pergi dan juga bertahan,
ini bukan karena benar dan salah, atau menang dan kalah. Kami hanya ingin
menghormati pilihan setiap masing-masing individu. Karena aku sendiri tidak
ingin jadi orang paling benar, karena orang benar hanya ada di kitab suci, dan pemenang
itu sendiri adalah seorang pembunuh. Begitulah yang sering aku baca di buku.
Apapun yang pernah dilahirkan sudah pasti akan
mengalami kematian, namun sebelum kematian itu datang, ada hal yang tidak boleh
dilewatkan. Ulang Tahun :D.
![]() |
Sulis, dari Australia workshop membuat hewan dari balon |
![]() |
Anggun meniup kue ulang tahun ND yang pertama |
Karena kami tidak ingat betul tanggal kelahiran
Nandur Dulur, kami putuskan untuk mengadakan ulang tahun di tanggal 15 November
2015. Acara yang awalnya disusun secara meriah, akhirnya setelah
menimbang-nimbang kami adakan secara sederhana, mengingat Nandur Dulur memang
mengutamakan kesederhanaan tanpa menghilangkan keceriaan.
Ulang tahun tersebut juga ikut menggandeng beberapa
komunitas seperti Dari Masa Lalu, Posko Visual, Malang Berkebun, Berwaktu luang
yang datang dari Kota Surabaya, dan Nandur Dulur Kediri. Dan beberapa musisi
Kota Malang yang secara tiba-tiba kita dorong naik ke atas panggung. Dan satu
lagi manusia kokoh tak tertandingi (meskipun dia sering mengeluh soal
pinggang), Mas Aris atau biasa kita pangging MasBo.
Dan sampai sekarang, saat tulisan ini dibuat, Nandur
Dulur masih menceriakaan taman. Masih mempunyai mimpi membangun sekolah gratis.
Masih ingin berbagi. Masih mencari dan memupuk persaudaran. Masih mengingatkan
pada semua bahwa bahagia tidak harus membeli. Masih belajar dan mengajar. Masih
berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama tersenyum pada siapapun yang datang.
Oh iya, foto dan dokumentasi di atas adalah hasil
dari jemari lentik Melati, manusia yang pertama aku mengenal mempunyai sebuah
senjata yaitu biola dan kamera.
Terimakasih untuk kalian semua yang mengajariku
sebuah proses bahwa berbagi itu tidak mengurangi. Terimakasih untuk kalian
semua yang mengantarkanku ke dalam sebuah ‘rumah’.
![]() |
Suasana setelah rapat Nandur Dulur di landasan Paralayang |
Maaf untuk nama-nama yang tidak bisa aku sebut
satu-persatu, karena begitu banyak nama yang ikut dalam proses Nandur Dulur.
Tapi percayalah, aku cinta kalian semua.
Salam hangat dan peluk erat dariku.
Arief Puji Kusuma :)